BAB ٧

65 30 20
                                    

Assalamuaikum, Merhaba!

Jangan lupa mampir di Instagram mereka berdua, yaa 🤍
@m4rtab4k_manies/ HaWa

"Ke siksaan dunia tanpa ridha Allah hanya akan membawa kebingungan sesaat, tetapi ke siksaan berkat ridha Allah memberikan kedamaian yang abadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ke siksaan dunia tanpa ridha Allah hanya akan membawa kebingungan sesaat, tetapi ke siksaan berkat ridha Allah memberikan kedamaian yang abadi."

~ Hamza Zein Faqih ~

Warning !!!
Baca nya pelan-pelan aja,
biar sampai ke hati
ke jiwa ke raga.

˚˖𓍢ִ໋🌷͙֒✧˚.🎀༘⋆

Menghela napas...

Menghela napas kedua kalinya...

Menghela napas ketiga kalinya...

Sebelum Haya sempat menghela napas lagi, aku memutar pandanganku dengan cepat, "Kamu, kenapa?" tanyaku cepat dan cemas.

Yang ditanya hanya menampilkan wajah kusut dengan mata yang berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir jatuh. Melihat itu, aku segera meraih kedua bahunya, menggenggam erat seakan ingin menyalurkan kekuatan.

"Kenapa, Haya? Kamu ada masalah? Sama siapa? Sama guru-guru?" tanyaku dengan nada penuh kekhawatiran.

Tiba-tiba, Haya pecah dalam tangis, suara isaknya menggema di ruangan itu. "Huaaaa~ eeee~ hiks~ hiks~"

Aku memeluknya erat, mencoba menenangkannya. Tanganku mengelus pelan punggungnya, memberikan kenyamanan. Haya perlahan mulai mereda, hanya menyisakan isakan kecil.

"Warda- ak- aku, hiks. aku- hiks," kata Haya terbata-bata, suaranya penuh lirih.

Aku memandangnya, berusaha menenangkan dengan tatapan lembut. "Tenang dulu, Haya," bisikku, menuntunnya agar bisa berbicara dengan lebih tenang.

Tok.. tok.. tok..

Suara ketukan pintu membuatku menoleh. Di sana, berdiri seseorang dengan wajah datar dan tatapan tajam. Dia memandang ke arah kami dengan tegas.

"Permisi, apa ada Ustadzah Haya di sini?" tanyanya dengan nada datar.

Haya, yang sedang mengusap air mata di pipinya, memandangku seolah bertanya, "Siapa?" dengan matanya yang masih sembab.

"Argha," jawabku singkat.

Haya menghela napas lagi, lebih panjang kali ini. "Aku ke sana dulu, ya," katanya sambil berdiri.

Aku memperhatikan Haya berjalan menuju pintu, namun saat itu aku sedikit terkejut karena Argha sudah tidak ada di sana. Haya pun keluar dari ruang guru, meninggalkan suasana yang tadi penuh emosi.

"Kenapa anak itu?" batinku heran.

˚˖𓍢ִ໋🌷͙֒✧˚.🎀༘⋆

Angin berhembus kencang, hujan turun deras dari langit, dan hawa dingin sedikit menyentuh kulit, memberikan sensasi sejuk yang meresap.

HaWa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang