dua

42 15 25
                                    

Aku masih diam di sudut dapur sambil memegang secangkir kopi buatanku sepuluh menit lalu. Uap panasnya berkurang, pun aroma kopi yang sedari tadi kuhirup tidak kunjung membuatku tenang.

Aku menghela napas pelan. Pikiranku penuh dengan banyak hal yang harus dilakukan, banyak hal yang tiba-tiba terpikirkan, dan banyak lelah yang aku rasakan mengambil alih kendali diriku yang sudah jenuh akhir-akhir ini.

Dan Hesta. Entahlah. Sekeras apa pun aku coba lupakan, bayang-bayang laki-laki itu terus memenuhi setiap sudut pikiranku. Perasaan yang sama, tapi tidak lagi sama. Seperti ada bagian yang tidak bisa aku jelaskan, meskipun perasaanku sepenuhnya masih terikat padanya. Menyebalkan mengingat bagaimana aku masih bisa tetep mencintainya, sedangkan Hesta malah mencintai perempuan lain. Raisa.

Nama itu lagi. Aku tidak tahu banyak karena Hesta jarang membahasnya, hanya sesekali, pun aku enggan bertanya lebih dulu. Yang aku tahu mereka berteman saat masih ospek. Satu komunitas juga di kampus.
Selama kuliah, aku dan Hesta sering bertukar kabar. Hesta selalu bercerita apa saja yang dia lakukan seharian ini, hectic-nya kuliah dan kegiatannya di komunitas, juga novel penulis kesukaanku yang baru relase, atau ada event baru apa yang sedang hype di Bandung. Hesta juga pendengar yang baik. Entah dia sudah hafal dengan tingkah random dan moodku yang sering naik-turun atau sebenarnya karena terpaksa—aku yakin yang kedua lebih tepat—Hesta selalu ada mendengarkan.

Layar ponselku akhirnya menyala. Saat akan membuka galeri, melihat-lihat foto yang Hesta bagikan di WhatsApp, beberapa notifikasi masuk beruntun. Salah satunya dari Instagram.

RaisaAnggita just shared a post.

Kata orang, kalau ada hal yang sudah kita tahu tidak berakhir baik jangan sekali pun coba-coba cari tahu karena sama saja namanya cari penyakit. Dan sekali lagi aku sedang menggali lubang luka hatiku sendiri. Alih-alih menyudahi rasa penasaranku lebih jauh, setelah melihat hanya posting-an berlatar langit tanpa caption di Instagram stories-nya, aku membuka profil Raisa. Tidak banyak yang kutemukan, semua terlihat normal. Tidak ada yang lebih menyakitkan, kecuali satu foto monokrom yang paling mencolok di antara semua foto yang ada. Fotonya bersama Hesta masih tersimpan rapi. Bertuliskan "Bubyday<3",  Hesta tersenyum ke arah kamera.

Raisa begitu mencintai Hesta. Dan Hesta kembali pulang pada cintanya. Menyesal, aku menutup aplikasi itu. Hatiku terlalu sesak melihatnya.

"Udah bangun?"

Aku tersentak, sedikit terkejut mendengar suara di belakangku. Rian baru saja masuk, melihatku sekilas lalu berjalan ke arah meja.

"Dari mana?" tanyaku melihat penampilannya pagi ini. Jauh lebih baik dari wajah kusutnya semalam. Kelihatan cukup segar dan wanginya bisa kucium dari tempatku berdiri.

"Beli bubur di depan."

Ada dua kantung kresek yang Rian bawa. Satu berlogo minimarket entah apa isinya. Satunya lagi kresek bening berisi tiga mangkuk bubur yang sedang dia keluarkan satu per satu.

Jam menunjukkan pukul delapan. Kelas pertamaku dimulai pukul setengah sepuluh. Masih ada sisa waktu. Setidaknya sampai suasana hatiku sedikit membaik, baiknya aku pulang ke rumah lebih dulu. Tidak mungkin juga kan aku ke kampus dengan baju lusuh seperti ini.

Dahiku berkerut merasakan rasa aneh di kopiku. Bukan karena pahitnya, tapi justru dominan asin di ujung lidah membuatku seketika tersedak. Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi, berkumur sebanyak-banyaknya. Apes banget. Kebanyakan melamun sampai tidak sadar yang kumasukkan tadi garam bukan gula.

Bodoh banget sih, Nad.

Aku harus berhenti memikirkan Hesta agar tidak mengacau lebih banyak lagi. Begitu keluar kamar mandi, Rian memberi beberapa lembar tisu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mari Kita Mulai Kembali Cerita Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang