Ullie mengunduh file yang menjadi lampiran. Tapi belum sempat menyelesaikannya, suara bariton Fabian terdengar dari pelantang yang dipasang di sudut langit-langit.
"Intern!"
Ullie buru-buru menuju ruangan Fabian. Bosnya sudah menunggu di meja kerja. "Mana tugas yang kamu janjikan selesai pagi ini?" tanyanya.
Ullie menekuk bibirnya sambil menunduk.
"Hei, Intern? Kamu nggak dengar saya?" tanya Fabian, kali ini lebih tegas.
"Baru selesai 18 halaman, Pak," cicit Ullie, masih tak berani mendongak.
"Apa tugas utamamu di sini?"
"Menjadi delegasi tim riset Prancis, penerjemah Bahasa Prancis, dan mengerjakan apa pun yang disuruh Bu Andrea."
"Jadi kalau bukan Andrea yang suruh, kamu nggak mau melakukannya?"
"Masih pagi, Pak," gumam Ullie, setengah mengeluh. Dirinya butuh tidur, bukannya omelan.
"Apa kamu bilang?"
"Saya nggak bilang apa-apa, Pak." Ullie menegakkan kepala. "Ternyata saya salah tentang janji kemarin, Pak. Saya perlu minimal seminggu tanpa tidur buat menerjemahkan dokumen Pak Bian. Ditambah isi dokumen Pak Bian susah banget buat dipahami. Terhitung sejak kemarin, saya udah empat hari nggak bisa tidur nyenyak. Kalau begini terus, saya bisa mati muda, Pak!"
Ada yang berbeda dari penampilan Fabian hari ini. Ullie hafal jika bosnya itu selalu mengenakan jam tangan Patek Philippe berdesain klasik. Tapi kali ini, Fabian mengenakan jam tangan merek lain, serasi dengan turtleneck rajut di balik blazernya. Udara hari ini memang agak dingin karena hujan turun sejak subuh.
"Kamu udah baca e-mail dari Andrea?"
Ullie mengangguk lesu. Dingin-dingin begini enaknya tidur. Bukannya kerja. Tapi apa daya, dia belum kaya raya.
"Gunakan waktumu untuk mempelajari tugas dari Andrea. Saya nggak menoleransi kesalahan. Paham?"
Ullie lagi-lagi mengangguk.
"Masalah tugas yang saya berikan kemarin..." Fabian tampak serius. "Dokumen itu sangat penting untuk saya pelajari segera. Berapa lama lagi kamu sanggup menyelesaikannya?"
Ullie menghitung dalam hati, mengira-ngira berdasarkan hasil kerjanya semalam. "Sebelum akhir bulan, Pak!" jawabnya tegas.
Fabian mengerutkan kening. "Yakin?"
"Yakin!"
"Ini terakhir kali saya pegang janji kamu."
Ullie mengangguk mantap. Sebaliknya, Fabian malah tersenyum misterius.
Perasaan Ullie jadi tidak enak.
***
.
.
.
HAMALEM'S NOTE
Sebagai salah satu cungpret juga, aku merasa relate dengan Ullie. Sering kali para bos tuh klo nyuruh udah kayak Roro Jonggrang. Bikin 1000 candi dalam 1 malam, ga mau tau gimana caranya. Bandung Bondowoso mending. Doi dibantu jin. Kita yang manusia biasa gini, dibantuin siapa?
Kalian ada pengalaman mirip Bandung Bondowoso juga, nggak? 😭
Anggap 3 bab ini sneak peek, ya.
Masih kurang?
Mau lagi?
Tapi ntar sisihin uang jajan kalian yang tidak seberapa itu untuk ikutan PO, ya. Biar bisa baca versi fullnya. Ga nyuruh sih ini. Cuma menawarkan (Mode Fabian).
Kalau banyak yang vote mau, nanti kukasih bab sneak peek tambahan lagi, deh.
🤞
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Intern!
RomanceJudul sebelumnya: Intern&Lover Direktur galak di tempat magang bikin hari-hari Ullie di kantor terasa lebih menantang. Semua tugas random rela diselesaikan Ullie demi menafkahi diri, termasuk menjadi asisten direktur sementara menggantikan Bu Andrea...