1. The eternity in summer

7 0 0
                                    

Aku mendongak melihat ujung gedung yang menjulang di depanku. Sinar matahari di ujung gedung itu menyorot mataku, aku harus mengernyit sedikit untuk menghindarinya. Bocah gila itu tinggal di gedung di kota Arlon di depanku ini. Hanya ada dua lantai di atas lantai dasar, ia tinggal di lantai teratas. Aku tidak begitu yakin bagaimana menyebut nomor lantainya itu. Katanya, mereka menghitung lantai di atas dasar. Tapi, kita orang Indonesia lebih familiar menyebut rumah ini rumah tiga lantai.

Anyway. Aku kembali menatap lurus ke pintu rumah di depanku. Aku sama sekali tak tahu bagaimana cara mengetuk rumah orang Eropa begini. Aku mencari-cari bel yang bisa dipencet lalu bunyi Assalamualaikum. Aku sudah hampir menyerah karena panas musim panas yang menyerang tubuhku di balik kemeja biru tipis dan jins abu-abuku. Seperti kebanyakan laki-laki di Indonesia, aku hanyalah mas-mas biasa yang berambut pendek yang harusnya membantuku di cuaca seperti ini. Tapi tidak juga, keringat bahkan sampai membasahi belakang tengkukku. Tanganku yang memegangi koperku pun sudah licin dengan keringat. Pundakku yang berransel juga sudah basah keringat. Karena bocah sialan itu aku harus berjalan 7 KM di bawah terik matahari musim panas Belgia. Mungkin tidak seberapa dibandig Surabaya, tapi kalau harus jalan 7 KM, tekor juga.

Belum juga berhasil menemukan bel itu, pintu di depanku sudah terbuka lebar. Muncul seorang wanita yang hanya sedikit lebih pendek dariku, mungkin sekitar 160 cm, dengan rambut brunette berwarna hijau dari balik pintu. Kami sama-sama terkejut. Tapi, tidak lama, kami pun busa mengenali satu sama lain.

"Ah, Gisa?", katanya menyebut namaku.

Aku mengangguk bersemangat, "Yes, nice to meet you! I'm sure you're Katty?"

"Yes, you can call me that. Come in! Dana is upstairs. The whole floor is hers because there's only one room in the attic. You can easily find her".

Aku mengangguk bersemangat dan nyaris melompat masuk sementara Katty keluar rumah. Kami basa-basi sedikit lalu ia akhirnya melanjtkan kegiatannya yang hendak pergi berbelanja.

Seperti yang disebutkannya. Aku menggotong koper seberat 25,8 kg-ku menaiki tangga hingga ke lantai paling atas. Benar saja. Aku langsung menemukannya saat sampai di anak tangga terakhir. Ia sedang duduk membelakangiku, sepertinya sedang tertidur dengan kepala menyender ke ambang jendela yang menghadap ke luar.

 Ia sedang duduk membelakangiku, sepertinya sedang tertidur dengan kepala menyender ke ambang jendela yang menghadap ke luar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sudah sepuluh tahun berlalu semenjak aku terakhir melihatnya. Aku masih saja mengenali punggung bodoh itu. Tidak ragu-ragu, aku yang terengah-engah ini menghampirinya dan melempar tasku ke sampingnya, lalu duduk di lantai kayu di samping kaki kirinya sambil bersandar ke dinding untuk mengistirahatkan punggungku. Benar dugaanku, si bodoh ini sedang tertidur nyenyak dengan angin dari jendela. Ia terbangun karena suara berisik yang kutimbulkan. Ia sedikit terperanjat lalu menyadari aku yang berkeringat ini sedang bahagia akhirnya bisa duduk dan bernapas lega. Matanya yang bulat berbinar-binar menatapku.

"Gisa!", serunya yang spontan memelukku.

Tunggu. Aku belum sempat memproses reaksinya. Bagaimanapun aku saat ini sedang dipeluk seorang gadis dengan tank top putih tipis dan celana pendek linen cokelat. Dia nyaris telanjang dan berani-beraninya dia memelukku yang keringatan ini. Dari dulu si bodoh ini memang tidak sopan. Aku menggeliat, mencoba melepaskan diri darinya.

"Lo tahu panas nggak sih. Lepasin dulu gila!"

Dana akhirnya melepaskanku dan duduk bersimpuh di depanku dengan matanya yang berbinar. Tunggu, itu hanya tangisnya yang menggantung di dalam matanya. Paduan mata itu dengan senyum lebarnya. Seperti sungai jernih yang memantulkan cahaya mentari.

"Lo mau minum apa? Gue tadi udah siap nungguin lo di sini. Tadinya gue mau turun kalau-

"Emang lo nya aja yang tolol. Udah, ambilin aer. Gue tadi nyasar naik bus jadi harus jalan. Panjang deh ceritanya. Ini semua gara-gara lo yang nyuruh gue pakai bis yang salah, gila."

"Bener kok. Mana mungkin salah. Lo kali yang-

"Aer , Dana, Aer."

Bukannya mengambilkan segelas air, si bodoh ini justru tertawa selayaknya orang bodoh. Kemudian satu butir air mata akhirnya menetes dari mata kirinya. Seperti air terjun di tengah musim panas. Terlihat sungguh menyegarkan. Kalau begini caranya, aku pun bisa hidup dengan si bodoh ini meskipun musim panas harus se-gerah ini selamanya.

"Cepetan ambilin air! Seneng lo liat orang tersiksa?!"

Dana akhirnya bergegas ke dapur yang tak jauh dari kami itu. Setelah itu, reuni kami dimulai. Aku yang datang jauh dari tempat tinggal terakhirku, Surabaya, menghampiri karib lamaku ini ke negara yang belum pernah kuinjak sebelumnya. Dan dia, Dana, yang sudah sepuluh tahun berkeliling negara ini dan para negara tetangganya. Dan sepuluh tahun sudah kami tidak bertemu. Juga tidak mengobrol.

###

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang