Aku terbangun pukul delapan pagi. Dana sudah melipat rapi futonnya. Aku tidak menemukannya di rumah. Mungkin ia sudah berangkat kerja.
Sebelum tidur semalam, kami sudah memutuskan tempat yang harus kudatangi hari ini untuk mengadopsi kucing kami. Tempat pilihan kami terletak lumayan jauh dari rumah Dana. Satu jam dengan kereta, dua setengah jam dengan bus. Sebenarnya hanya 30 menit dengan mobil, sayangnya Dana tidak punya mobil. Aku belum mengubah SIM ku ke SIM internasional.
Derap langkah menaiki tangga terdengar saat aku mengaduk kopi pagiku. Aku melongok keluar dapur untuk mengecek apakah itu Dana yang meninggalkan sesuatu.
Alih-alih Dana, Katty muncul di anak tangga teratas. Kami bertukar pandang.
"Dana left already?"
"Yes, do you need something?"
"No, no. Dana actually asked me to bring you to get the cat".
Dana benar-benar tidak berubah masalah ini. Ia suka merepotkan tetangganya. Seperti ia merepotkanku dulu, sampai aku berhenti bicara padanya sepuluh tahun lalu.
"In that case, I will be ready in 30 minutes!"
"Oh, no rush. They open at 10. So, take your time, just knock my door whenever you're ready!"
"Okay, thanks!"
"Don't mention it! See you!"
"See you!"
Katty kembali menuruni tangga. Aku meletakkan kapsul kopiku di mesin kopi untuk stimulanku pagi ini. Mood-ku sedang baik. Setelah mendengar penjelasan Dana tentang Andre kemarin, aku cukup tenang. Sekarang aku tahu betul mereka benar-benar sudah berakhir. Meskipun kurasa aku sedikit salah menilai Andre.
Tidak kusangka si sialan itu menunggu Dana dengan sabar sementara Dana menyembunyikan diri. Kurasa ia adalah orang yang paling tidak pedulian yang kukenal. Maksudku, bagaimana ia tidak menyadari aku menaruh rasa pada Dana selama ini? Setiap ia menjemput Dana di kafe tempat kerja Dana dahulu, aku selalu ada di sana. Setiap Dana terjebak dalam masalah apapun, akulah yang pertama kali di sana. Bukannya curiga padaku, ia justru terkadang mempercayakan Dana padaku.
Aku tidak tahu bagaimana cara berpikir Andre sampai mempercayaiku sebegitunya. Mungkin ketika Dana mengenalkanku padanya, ia menyebutku sebagai sepupu jauhnya. Atau mungkin karena saat pertama kali kami bertemu, aku sempat punya pacar yang hanya bertahan kurang dari sebulan. Tentu aku pacaran hanya untuk balas dendam pada Dana yang ternyata ia juga turut bahagia atas hubunganku. Akhirnya aku putus karena pacarku saat itu melihat dengan jelas bahwa aku lebih peduli pada Dana daripada apapun di dunia ini. Bahwa tidak mungkin aku tidak akan peduli pada orang yang foto bersamanya kusimpan di laci meja kerjaku selama ini, sampai detik aku mengangkut barangku dari bilik kantorku.
Awalnya aku marah dan mencoba membuangnya. Tapi, aku merasa aku terlihat sangat bahagia di foto itu. Lalu aku menyimpannya di sela-sela buku tuaku. Perlahan foto itu berpindah dari buku berdebu ke buku yang sering kubaca. Kemudian, ketika aku merasa sedih dan sendirian, aku akan mengambil foto itu lagi dan melihatnya. Sekali lagi, begitulah alibiku.
Ketika aku melihatnya, terbayang saat kami bisa menghabiskan waktu di rumah Dana bersama. Aku sering main ke rumahnya dan menceritakan setiap detil kecil hariku. Tentang Pak Susilo yang menyuruhku berdiri di depan kelas selama setengah jam, tentang Gladys yang sepertinya suka padaku, tentang Anton yang mengajakku bolos lagi, atau tentang pelajaran Fisika yang membosankan. Dana menengarkanku sambil berberes rumah, kadang aku juga membantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begin a Story,
ChickLitFriends? It is a word that I am so tired of hearing for 10 years. Aku juga lelah berdalih apalagi jika kita terlihat terlalu dekat. Aku lelah menertawakan kisah cinta kita yang selalu berantakan. Can't we just begin ours? Toh sudah 10 tahun kita ter...