7. Terlambat

0 0 0
                                    

Dana benar-benar tidur begitu saja semalam. Sedangkan aku hanya bisa setengah tidur dengan otakku masih tidak tenang. Aku berbaring di samping Dana lagi seperti malam-malam sebelumnya.

Apakah terlalu cepat? Aku baru menemuinya seminggu lalu setelah kami tidak bicara selama sepuluh tahun. Umurku 32 tahun. Aku yakin aku mulai punya keriput di sana sini. Rasanya aku ingin menelepon adikku yang sedang menikmati hidupnya di Bali sekaran dan bertanya, 'Kalau lo tiba-tiba dicium om-om 32 tahun, lo bakal gimana?'

Lalu aku mengamati punggung Dana yang tidur membelakangiku. Tubuhnya naik turun perlahan dengan napasnya yang tenang.

Tunggu. Dana juga 32- tidak, ia bahkan setahun lebih tua dariku. Aku cukup beruntung melewatkannya sekian lama dan masih nemiliki kesempatan sebesar ini. Padahal belum lama ini aku sudah sangat siap melupakannya, membayangkan ia hidup di Belanda atau dimanapun itu dengan keluarga kecilnya.

Aku tahu ia benar-benar tidur karena napasnya yang dalam itu. Semakin dalam napasnya, aku semakin bertanya-tanya. Aku ingin tahu tanggapannya tentang ciuman itu. Kalau ia tidak masalah dan tidak mengusirku, apa itu artinya aku bisa menciumnya lagi nanti?

Sepanjang malam pikiranku berputar seperti itu. Aku hanya tidur 1-2 jam lalu terbangun pagi sekali, setengah lima pagi. Dana masih di terlelap di dalam futonnya.

Aku sudah yakin tidak bisa tidur lagi. Aku mulai membuat kopi dan melanjutkan overthinkingku di dapur. Baiklah, mari kita runut kejadian semalam. Aku duduk di kursi dengan kopi di atas meja di depanku, bersiap menggali lebih dalam rangkaian kejadian semalam.

Dana menyebutkan masa lalu. Semua masa lalu sialan itu ia bahas dengan nuansa kekeluargaan. Memang benar aku kenal betul keluarganya. Bahkan konflik keluarganya pun bukan menjadi hal baru bagiku. Aku tidak akan terkejut jika suatu hari di masa lalu Dana berkata padaku jika ia sudah muak dengan keluarganya. Aku akan dengan senang hati menawarkan rumahku. Orang tuaku akan senang. Ibuku sudah yakin aku akan menikahi Dana sejak aku kuliah. Bagaimana tidak, jika Dana meneleponku dan memintaku datang ke rumahnya, aku akan bersemangat menyambar kunci motorku. Bahkan terkadang pulang hari berikutnya.

Omong-omong tentang orangtuaku... aku tidak berpamitan pada mereka ketika aku kemari. Tidak seperti Dana, keluargaku sungguh baik-baik saja. Ayahku meninggal tidak lama setelah aku lulus kuliah. Ketika itu pun ibuku menanyakan Dana. Aku menjelaskan padanya bahwa aku yang menjauhinya karena ia sudah punya pacar dan mungkin saat itu mereka sudah menikah (yang ternyata aku salah).

Ibuku terus berusaha menjodohkanku dengan banyak wanita. Puncaknya, beberapa tahun lalu, ada sepupu jauh kami yang sedang kuliah ikut tinggal bersama kami. Ibuku bersikeras menjodohkanku dengannya. Maksudku, jika aku mau, aku bisa menikah kapan saja. Tapi, tidak seperti ini. Aku marah besar dan meninggalkan rumah, tidak bicara lagi dengan ibuku sejak tiga tahun lalu. Tapi, aku yakin ia tahu kabarku dan sebaliknya melalui adikku.

Hanya saja, ketika aku kemari, aku juga tidak berpamitan pada adikku. Apa yang akan dia katakan jika tahu aku menyusul Dana? Apalagi ia tahu jika selama ini aku hanya dianggap sebagai keluarga bagi Dana. Bayangkan jika adikku mendengarku menjelaskannya. Aku tidak mungkin melakukan itu. Ia akan menertawaiku seumur hidupnya.

Aku mengacak-acak rambutku sendiri dengan frustasi. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatnya merasa aku adalah keluarganya.

Nana, kucing kami, mengeong di kakiku. Aku sedikit terkejut karena ini juga pertama kalinya aku punya kucing. Aku menggendong kucing itu ke tempat makannya di lorong di depan kamar tidur. Kutuangkan sedikit makanan untuknya dan duduk di sampingnya yang bersemangat mengunyah.

Aku mendengar suara dari kamar tidur yang menandakan Dana sudah mulai melipat futonnya. Aku menoleh dan melihatnya yang menggotong futonnya ke sudut ruangan.

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang