6. The kiss

0 0 0
                                    

Dana kembali dari kerja pukul 6 sore. Ia sungguh terkejut bahagia melihat kucing yang tertidur di atas dadaku yang sedang tiduran di sofa sambil melihat film dari laptopku yang kuletakkan di perutku. Di kamar Dana ada sofa lantai yang dapat dilipat dan di himpitkan ke tembok sehingga kamar akan luas lagi ketika sofa itu dilipat.

Aku yakin sekali itu hari yang panjang untuk Dana karena aku bisa melihat lekukan mata Dana yang jauh lebih dalam dari biasanya. Dengan kucing itu, setidaknya ia langsung tersenyum lebar dan memeluk kucing di dadaku perlahan agar tidak membangunkan kucing kecil itu. Ia benar-benar bersandar di dadaku untuk melakukannya. Rambut Dana bahkan menutupi setengah wajahku. Aku tidak tahu apakah Dana tahu apa yang dilakukannya.

Setelah kuingat-ingat, dahulu ia sering sekali tidur di sampingku, memainkan rambutku, menepuk-nepuk kepalaku, mengelus punggungku lembut ketika aku sedih, dan masih banyak lagi.

Apakah karena aku menyadari perasaanku sekarang, aku jadi sangat sensitif terhadap seluruh sentuhannya?

Aku sekarang mempertanyakan diriku sendiri bagaimana aku menahan tidak menciumnya sama sekali saat kami sangat dekat dahulu. Mungkin karena saat itu aku masih muda dan naif atau mungkin karena aku mengabaikan perasaanku sendiri dan terlalu terbiasa dengannya. Yang manapun, aku tetap ingin mengamuk pada diriku di masa lalu. Dengan aku yang tidak mengekspresikan atau merespon sentuhan darinya sedikitpun itu, sudah jelas ia menganggap tak ada apapun di antara kami.

Karena itu, aku tak ingin melewatkan apapun lagi. Kubiarkan tubuhku mengikuti keinginanku sekarang. Waktunya menghapuskan batas antara aku dan Dana sekarang.

Aku merangkulkan kedua tanganku di tubuhnya. Aku merasakan tubuhnya menjadi canggung dalam sekejap mata.

"Lo kenapa?", bisiknya, berusaha tidak membangunkan kucing kecil kami.

Ia menoleh ke wajahku dan menatap ke kedua mataku. Bibir kami hanya berjarak kurang dari sepuluh senti. Ini gila. Aku mengendalikan akal sehatku. Aku tidak akan menakutinya begitu saja.

Terlepas dari usaha Dana untuk tidak membangunkannya, anak kucing itu mengeong dan melepaskan diri dari kami, turun dari sofa meninggalkan aku yang memeluk Dana.

"Lo nggak papa?", tanyanya.

Aku sedang kacau, Dana. Aku patah hati. Sejak sepuluh tahun lalu. Aku cemburu. Aku tidak baik-baik saja. Alih-alih mengungkapkan kata hatiku itu, aku melepaskan pelukanku. Ia masih membungkuk di atasku. Aku bisa mencium aroma bunga dari parfumnya.

Kusibakkan rambutnya ke punggungnya dengan lembut, kuselipkan beberapa helai rambut di belakang telinganya. Oh, ini juga pertama kalinya aku menyentuh rambutnya. Mereka sedikit kering dan kusut karena terkena angin dalam perjalanannya pulang. Dana menegakkan tubuhnya, memandangku tajam sambil berkacak pinggang. Ia pasti bertanya-tanya mengapa aku tidak menjawap pertanyaannya dan malah bermain dengan rambutnya.

Aku memberikan setipis senyum padanya.

"Nggak papa. Oh, ya! Gue nemuin kucing ini di samping rumah", jawabku akhirnya.

Aku menceritakan bagaimana aku mendengar suara kucing itu dan memungutnya. Aku juga menceritakan bahwa aku dan Katty pergi ke veterinary dan mereka bekerja dengan baik memeriksa kucing kami. Aku juga mengatakan padanya aku menamai kucing kami Nana.

Dana mengangkat alis kanannya, mengangguk-angguk setuju. Ia juga suka nama yang kuberikan. Kurasa aku tidak perlu menceritakan bagaimana Nana mengingatkanku padanya. Itu akan membuat kami semakin canggung.

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang