9.

0 0 0
                                    

Kami pacaran. Aneh rasanya benar-benar punya hubungan dengan Dana begini. Lalu, sekarang apa? Haruskah aku menghujaninya dengan kata-kata manis? Aku tidak begitu pandai melakukan itu.

Untuk seseorang yang telah memendam perasaannya selama belasan tahun, kurasa kau bisa menilai seberapa pandainya aku berkata-kata. Aku terlalu bodoh untuk hal romantis. Semalam, kami hanya mengobrol seperti biasa. Aku mendengarkan ceritanya mengenai bosnya yang lagi-lagi memberikan segudang kerjaan. Aku menceritakan perkembangan kucing kami. Kami tertidur begitu saja. Pagi ini pun aku terbangun duluan. Ia masih tidur di futonnya.

Aku membuka dengan fakta yang masih tidak bisa kupercaya. Aku sudah mengungkapkan perasaanku dan kami pacaran sekarang. Rasanya tidak ada yang spesial. Aku juga tidak selega yang kukira. Meski begitu, aku hanya merasa keputusanku untuk datang kemari adalah pilihan tepat.

Aku pasti akan gila jika aku nekat melupakannya. Aku hanya seperti orang bodoh memandangi foto lama kami dan menyesali mengapa aku tidak pernah mencoba mengungkapkan perasaanku. Walaupun tidak ada perasaan luar biasa ataupun kebahagiaan yang membuncah, aku cukup puas dengan sisa hidup tanpa penyesalan ini.

Aku mendekatkan tubuhku ke futon Dana. Jari-jariku menyusuri pinggir wajahnya dan menyingkirkan beberapa helai rambut di wajahnya.

"Gisa?", bisiknya yang terbangun karena sentuhanku.

"Hm?", gumamku.

"Jam berapa?"

Aku melirik jam digital di meja kecil di kamar Dana. "Jam enam", jawabku.

"Bangunin gue setengah jam lagi", katanya yang lalu terlelap lagi.

Kurasa aku hanya merasa aman karena aku sudah bersama Dana lagi. Mungkin aku lega dan bahagia, walaupun perasaan itu tidak berlebihan dalam dadaku. Aku hanya ingin menghabiskan hidupku dengan Dana. Menjadi sahabat terdekatnya selamanya. Karena itu, aku sudah lega begitu mendengar Andre tidak lagi bersama Dana dan aku bisa kembali menghabiskan waktu dengan Dana lagi.

Saat aku SMA, aku bahkan sudah membayangkan kami berdua duduk di halaman rumah melihat taman kecil di depan rumah kami sambil bercanda. Aku memang ingin memeluknya dan menciumnya, namun yang terpenting, aku hanya ingin ada dalam kehidupannya. Seperti ini. Aku tidak keberatan jika aku harus mengulangi pagi membosankan ini selamanya.

Aku bangun dan membuat kopi pagiku di dapur seperti biasanya. Aku membaca lagi novel Rectoversoku sambil menikmati kopi pertamaku hari ini. Nana, kucing kami, menghampiriku dan mengeong meminta sarapan.

Kami berdua-aku dan Dana- memutuskan untuk menutup pintu kamar selama tidur di malam hari untuk mencehah gangguan Nana saat kami butuh istirahat di malam hari. Itulah mengapa, Nana mengeong begitu agresif begitu menyadari aku sudah bangun dengan kopiku di tangan. Aku memberikan makanannya di koridor, tempat mangkuknya berada. Ia makan dengan lahap dan berhenti mengeong keras.

Aku melanjutkan bacaanku dan kopiku. Pukul setengah tujuh, aku membangunkan Dana yang malas-malasan menyeret tubuhnya keluar futon, melipat futon, lalu bergabung denganku di ruang makan.

Seperti biasanya, ia meraih mug favoritnya dan mengisinya dengan kopi. Kali ini, ia menggeser kursinya ke sampingku, lalu menyandarkan tubuhnya di tubuhku. Inikah awal hubungan kami yang sebenarnya?

"Makasih, Gis".

"Eh? Kenapa?"

Tentu aku terkejut. Kemarin ia bilang akulah penyebab ia menyerah dengan hidupnya di Indonesia. Akulah yang meninggalkannya sendirian. Tiba-tiba saja ia berterimakasih? Wajar jika aku ingin tahu alasannya.

"Karena lo di sini. Gue kira gue beneran sendiri sampai akhir".

Aku pernah mendengar ini beberapa hari lalu. Aku benar-benar tidak memahaminya. Ia berterimakasih lalu marah, lalu berterimakasih lagi.

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang