Saat aku membuka mata di keesokan paginya, aku baru menyadari bahwa banyak hal di kamar Dana yang tidak kukenali. Seluruh baju yang dipakainya sehari-hari terlihat seperti hal baru bagiku. Jam tidurnya yang tidak lagi larut, makanan favoritnya, warna-warna pilihannya. Banyak hal yang kulewatkan darinya.
Fakta bahwa Dana menangis di pelukanku selama sekitar sepuluh menit adalah satu-satunya bukti bahwa aku mengenalnya. Aku tidak menyukai kebenaran itu. Karena artinya sekarang ataupun sepuluh tahun lalu, Dana masih orang yang sama. Wanita yang di hatinya hanya ada Andre.
Sialan.
Dahulu, aku mencoba memberikan ide untuknya mengencani pria selain Andre. Dengan begitu, ia bisa sedikit menghapus keberadaan Andre dalam hatinya. Kemudian, ketika perasaan sialan itu sudah memudar, aku bisa masuk dalam kehidupannya. Bukan sebagai sahabat baik yang selalu ada, tapi pasangan hidup yang bisa menciumnya dan tertidur di pelukannya.
Tanpa kusadari, aku melakukan hal yang buruk hanya untuk mendapatkan hatinya.
Dana sempat mendengarkan saranku lalu mengencani seseorang dari kampus yang berbeda dari kampus kami. Aku sungguh bahagia saat mendengarnya. Selang satu minggu, Dana sudah kembali lagi ke pelukan Andre.
Aku marah bukan main. Setelah itu pun ia masih kadang menceritakan hal tentang Andre padaku. Aku kesal dan memutuskan untuk tidak bicara dengannya. Ketika itu terjadi, aku bertanya pada diriku. Apakah aku kesal karena aku seorang teman yang kelewat baik?
Tidak.
Kalaupun dia tidak kembali pada Andre dan terus-terusan mengencani pria kampus lain itu, aku juga tidak suka membayangkannya. Tapi aku juga tidak mau jadi orang pertama yang menjadi pelariannya melupakan Andre. Biarlah si pria kampus lain itu atau beberapa pria lain lagi pun tak apa. Asal Dana bisa menghapus Andre sialan itu dari kepalanya. Itulah yang kupikirkan di bawah alam sadarku dahulu.
Sekarang aku ingat betul bagaimana kami mulai tidak bicara lagi.
Waktu itu, kesekian kalinya Dana menangis sejadi-jadinya karena Andre. Aku tidak ingat alasannya. Karena bagiku, simply saying, Andre adalah sampah dan Dana deserves better. Which should be me.
Kami bertengkar hebat di kantin kampus pada waktu mendekati tengah malam. Kampus masih sedikit ramai orang lembur berbagai macam event. Aku dan Dana juga mengurusi event jurusan kami, arsitektur. Satu jam sebelumnya, kami berdua memutuskan untuk pergi ke tempat duduk kantin yang sepi untuk mendengarkan cerita Dana episode ke sekian. Dia menceritakan perasaannya, keadaannya dan Andre, menyalahkan Andre, lalu ia mulai menangis.
Yang kulakukan saat itu bukanlah mendengarkan dengan baik. Aku membentaknya, meneriakinya, menyalahkannya dengan frasa "Kan udah gue bilang..."
Aku tidak ingat apa saja yang kukatakan waktu itu. Yang kuingat hanyalah aku sungguh lelah dengan cinta bertepuk sebelah tanganku. Aku lelah sekali.
Aku begitu marah karena bagiku Dana tidak memberikan lampu yang jelas untukku. Haruskah aku menyerah karena kau sudah menjadi milik orang lain? Ataukah aku harus berjuang karena kau sungguh membutuhkanku?
Mengingat bagaimana semua itu terjadi, aku sedikit menyesalinya. Kalau saja aku mencoba mengerti apa masalahnya, mungkin aku akan mengerti Dana lebih baik. Atau mungkin jikalau aku mengkomunikasikan perasaanku lebih baik lagi, mungkin sekarang aku bisa menghiburnya dan memahaminya lebih baik lagi.
Melihat Dana tidak ada di futonnya jam enam pagi di mana ia masih dalam jangka cuti sudah cukup mengkhawatirkan. Dibanding hari kemarin ia bisa tidur nyenyak seperti putri Disney, aku merasa sungguh bersalah ia harus bersedih dan terbangun awal pagi ini. Harusnya aku bilang saja kemarin kalau aku merindukannya dan datang begitu saja. Dengan begitu, ia tidak perlu bersedih mengingat si brengsek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Begin a Story,
ChickLitFriends? It is a word that I am so tired of hearing for 10 years. Aku juga lelah berdalih apalagi jika kita terlihat terlalu dekat. Aku lelah menertawakan kisah cinta kita yang selalu berantakan. Can't we just begin ours? Toh sudah 10 tahun kita ter...