2. The boyfriend

3 0 0
                                    

Sudah tiga hari aku menginap di kamar Dana. Kamar sebesar 24 meter persegi dengan furnitur serba berwarna kayu itu cukup luas untuk kami berdua tidur terpisah dengan futon masing-masing. Ya, futon. Dana selalu mengeluh dengan tempat tidur yang terlalu empuk atau terlalu keras. Kasur yang ideal untuknya berharga ratusan euro. Ia tidak ingin menghabiskan uang sebanyak itu untuk tempat yang mungkin hanya ditinggalinya untuk sementara ini. Ia menemukan kecocokan dengan futon yang dapat memenuhi permintaan punggung encoknya itu. Bagiku juga tidak masuk akal, tapi aku bukan orang yang banyak menanyakan keputusan orang lain.

Dana memberiku futon juga dan kami tidur berdampingan setiap malam, berjarak 2-3 meter. Aku tidak banyak protes, bagaimana juga, aku terlelap selama hampir 15 jam penuh tanpa terbangun di atas futon itu karena kelelahan dan jet lag.

Selama tiga hari tiga malam yang sudah berlalu, aku menikmati kisah-kisahnya tentang pekerjaannya sekarang, orang-orang di sekitarnya saat ini, dan orang serumahnya. Meski begitu, aku menyimpan banyak pertanyaan, tentang kehidupannya sekarang maupun sepuluh tahun belakangan. Hanya saja aku belum punya keberanian menanyakannya.

Seperti...

"Kenapa lo tiba-tiba ke Belanda sepuluh tahun lalu?"

"Kenapa lo memperbolehkan gue nyusul lo gitu aja?"

"Pagi, Gisa!"

Aku yang sedang mengaduk kopiku di dapur dan terhanyut ke dalam pikiranku seakan tertarik ke dunia nyata kembali.

"Baru bangun?", tanyaku yang dijawab okeh anggukan lemahnya.

Aku menatap rambutnya yang digelung ke atas acak-acakan berpadu dengan kaos crop-tee biru langit dan celana linen putihnya yang lusut karena dibawa tidur. Dana tersenyum padaku dengan mata masih setengah tertutup lalu duduk di salah satu kursi di meja makan. Aku duduk di depannya, menatapnya yang masih mencoba terbangun.

"Ini hari Senin, kenapa lo nggak kerja?", tanyaku.

Saat aku datang, itu hari Jumat, dan sudah jam 7 malam walaupun matahari masih terik. Hari Sabtu dan Minggu, aku tahu itu hari liburnya. Aku tidak akan bertanya apapun walau ia tidur seharian. Tapi ini hari ini Senin pukul sepuluh pagi.

"Gue ambil cuti seminggu buat lo", katanya sambil menguap lebar.

Aku merasa penting. Siapapun tidak bisa menahan senyum tipis saat merasa jadi prioritas begini. Kadang aku berharap kita belajar cara menghadapi pujian atau kasih sayang lebih baik lagi. Mungkin akan jadi mata kuliah yang bagus juga di universitas.

"Gis?", panggilnya karena aku terdiam menahan senyumku cukup lama.

"Eh? Y-ya, emang kita mau kemana?", tentu saja aku salah tingkah.

"Apalagi, lo mau cari kerja nggak? Lo bilang di email kalau mau nyusul gue, that means you will stay here for good, kan?"

"Hahahaha", aku tertawa terbahak-bahak. Sia-sia senyum malu-maluku tadi. Harusnya aku tahu dia merencanakan ini untuk membantuku berdiri di negara antah berantah ini.

Bodohnya aku yang datang kemari benar-benar hanya untuk hidup bersama Dana. Tidak ada rencana bagaimana hidupku di sini atau pekerjaan apa yang akan aku ambil. Aku hanya mendapat visa turis. Akan sangat sulit sebenarnya bekerja dengan visa turis ini. Mungkin aku harus mengganti visaku, mendapatkan pekerjaan yang layak...

"Oke, apa ada kerjaan yang agak mudah buat gue? Lo tahu visa gue bukan visa yang- you know".

"Apa aja, nanti kita cari bareng, gue bantuin."

Aku mengangguk bersemangat. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar punya kesempatan untuk berada di sisinya lagi. Dan kali ini untuk selamanya. Aku sudah tidak peduli lagi status atau apalah itu. Melupakan Dana lebih sulit daripada melihatnya dengan orang lain.

Tiba-tiba saja, aku punya sedikit keberanian untuk bertanya salah satu pertanyaan yang tadinya tidak terpikirkan, "Tapi...lama banget lo cuti sampe seminggu. Lo cuti buat bantu gue atau buat jalan sama cowok lo nih?", tanyaku setengah bercanda.

Oke sekarang aku menyesalinya, aku terdengar seperti buaya darat sekarang. Lebih parahnya, Dana terdiam cukup lama. Seolah pertanyaan tadi tidak pernah ada. Dana memejamkan kedua matanya seperti telah gagal bangun pagi ini. Ia meletakkan keningnya ke atas tangannya yang dilipat di atas meja. Baguslah, lupakan saja lelucon bodohku tadi. Aku sendiri malu mengingatnya.

"Gis, kenapa lo nyusul gue ke sini?", tanya Dana sambil masih menyembunyikan wajahnya.

Aku sedikit terkejut. Oh, ia tidak melupakan pertanyaan konyolku. Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain dengan sangat serius. Bukan hanya pertanyaannya, nadanya pun tidak main-main. Ini adalah percakapan serius dan cukup berat sejak aku datang kemari.

Aku mengatur emosiku sejenak, lalu menjawab setelah menghela napas panjang. Aku membutuhkan banyak energi untuk menyebut tentang satu orang ini.

"Gue terakhir kerja di Surabaya. Mungkin sekitar enam bulan yang lalu, gue ketemu Andre."

Aku tidak yakin untuk melanjutkan kata-kataku. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa. Aku dan Andre, si entah mantan atau pacar Dana ini, hanya bertegur sapa biasa. Andre lah yang pertama menyebut Dana, "Dana sekarang kerja di Belgia, kamu nggak ngobrol kah?"

Hanya dari kalimat Andre yang tidak kutanggapi itu, aku nekat menghubungi Dana lagi, resign dari pekerjaanku, dan datang kemari. Aku tidak tahu bagaimana menjaskan ini padanya. Karena akupun tidak mengerti mengapa.

"Ah, lo kuatir sama gue dan datang?", tanyanya.

"Yah, gue emang khawatir sama lo tapi bukan cuma itu".

Aku ingin sekali bertanya apa hubungan mereka saat ini, tapi aku takut dengan jawaban yang mungkin kudengar. Aku sudah hapal dan muak dengan hubungan putus nyambung mereka sejak SMA. Ada saatnya aku menolak perasaanku sendiri, mencoba tidak peduli. Ada saatnya aku pacaran dengan wanita lain, tapi masih peduli dengan Dana yang terus menangis. Ada saatnya aku membohongi diriku selama sepuluh tahun, lalu berakhir menyusul Dana ke tempat ini.

Aku meletakkan telapak tanganku di atas kumpulan rambut acak-acakannya. Ia tidak pernah mau bercerita sambil menatapku ketika ada rahasia atau hal besar yang ingin ia katakan padaku. Ada alasan kenapa dia tidak berani menatapku saat aku membicarakan Andre.

"Dana, apa lo pikir gue khawatir karena...", aku tidak bisa menyelesaikan kata-kataku.

Dana berdiri tegak tiba-tiba, lalu menatapku dengan mata terbuka lebar. Membuat tanganku harus enyah dari kepalanya. Ia menopang dagu dengan kedua telapak tangannya dengan tumpuan siku di atas meja. Senyumnya mengembang perlahan.

"Yup, gue putus sama dia. Beneran putus. Kami udah nggak saling bicara selama lima tahun".

Aku lega mendengarnya, dan itu bukan hal yang harus dirasakan oleh seorang teman. Memang bukan seorang teman lah tempat yang sebenarnya aku mau di sampingnya. Dan aku sudah muak membohongi diriku. Aku berdiri meninggalkan kopiku yang sudah dingin di atas meja. Perlahan aku berjalan ke arahnya, berhenti saat pinggangku menyentuh pundaknya. Meski aku lega, aku juga turut sedih mendengarnya, artinya Dana mengalami patah hati yang mendalam lima tahun lalu, mungkin hingga saat ini. Dan aku tidak di sampingnya.

"Dana, lo bisa nangis kalau lo mau", ujarku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Aku tahu ia selalu menyembunyikan tangisnya hampir di semua waktu. Karena itu, sering sekali sejak dulu aku menyuruhnya untuk menangis. Aku akan membuka jaketku untuk menutupinya yang menangis di pelukanku. Selalu begitu sejak kami berteman di kelas satu SMA.

Kali ini pun begitu. Dana tidak bisa membendungnya. Ia memelukku, aku pun sedikit membungkuk untuk memeluknya. Ia mulai menangis hebat seperti anak kecil sesenggukan yang kehilangan teddy bear kesayangannya. Untuknya, bukan sekedar teddy bear, ini Andre, seorang laki-laki yang ia cintai sepenuh hatinya. Walaupun sendiku berteriak karena harus menahan beban tubuhku yang setengah berdiri, aku tetap sabar memeluknya dan menepuk pelan punggungnya.

###

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang