10

0 0 0
                                    

Aku tidak tahu bagaimana orang-orang memulai hubungan mereka hingga akhirnya terbiasa berpelukan dan berciuman. Aku tahu aku akan dengan mudah terbiasa mencium Dana. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk Dana. Ia memang tidak menghindariku saat aku memeluknya atau menggenggam tangannya. Tapi aku bisa merasakan tubuhnya yang tidak terbiasa menerima sentuhan itu. Jadi, aku belum menciumnya lagi sejak kami berbincang di dapur hari itu.

Aku hanya menggenggam tangannya setiap hari saat mengantarkannya ke halte bus dan menjemputnya kembali. Lalu, terkadang memeluknya yang tidak akan bertahan lebih dari lima detik karena aku tahu dia tidak nyaman. Bagaimanapun, kami mulai pacaran dengan aku yang jatuh cinta dan menyusulnya kemari sedangkan ia baru saja belajar menerima hal yang kusembunyikan begitu lama.

Suatu hari, setelah genap tiga minggu kami berpacaran, aku memutuskan untuk membeli bunga di supermarket dekat rumahnya, di tempat ia selalu membeli bunga favoritnya. Bukan bunga yang langka ataupun spesial, namun ia menyukainya. Dan itu sudah cukup.

Aku menunggu di halte bus tempat ia akan pulang dari temat kerjanya menggenggam bunga itu di tangan kananku sambil menahan dingin musim gugur yang sudah mulai berjalan. Lima menit setelah aku menunggu, bus Dana datang tepat waktu dan aku melihatnya tersenyum menatapku dari jendela bus. Ia turun bus dengan senyum yang lebar walaupun mantelnya, tasnya, rambutnya terlihat berantakan karena bus yang penuh. Aku menyambutnya dengan tangan terbuka menunjukkan aku siap menghangatkannya dengan pelukku.

Tanpa ragu, ia menghambur dalam pelukanku dengan senyum masih terukir di wajahnya. Aku yakin senyum juga terukir di wajahku yang kedinginan ini. Aku memeluknya erat-erat sebentar, lalu mengendurkannya sebelum lima detik penuh. Dana melepaskanku, lalu berdiri bersemangat di depanku.

"Itu buat gue?", tanyanya.

Aku mengangguk dan menyerahkan bunga tulip kuning itu padanya. Ia menerimanya lalu memberikan bunga itu pelukan kecil sebelum memandanginya dengan bersemangat.

"Lo tahu arti tulip kuning?", tanyanya.

Aku tidak tahu. Tapi satu yang aku tahu, "Tulip kuning itu elo. Mau sampai kapanpun, kalau gue liat tulip kuning pasti gue keinget elo".

Dana tertawa terbahak-bahak, "Makasih, hari ini gue badmood banget. Ternyata lo bisa becus juga jadi pacar", komentarnya sambil berjalan mendahuluiku ke jalan pulang.

Aku menyamakan langkahku dengannya, mengamatinya yang sedang bahagia menatap bunganya.

"Gue kira lo nggak dengerin gue waktu gue cerita".

"Kalau lo cerita sekali, mungkin gue bakal lupa. Masalahnya lo udah cerita mungkin lebih dari sepuluh kali", sahutku.

Kami berjalan berdampingan selama lima menit ke rumah Dana. Aku berharap bisa menggenggam tangannya seperti biasanya, tapi ia sibuk menggenggam bunga tulip itu. Sekarang aku tidak tahu harus sedih atau senang melihatnya senang dengan pemberianku.

Di pintu rumah, Dana menitipkan bunganya padaku, mengisyaratkanku untuk menjaganya sebentar sementara ia mencari kunci rumah. Ia hampir selalu kehilangan kunci rumah di dalam tasnya yang cukup besar itu. Aku punya kunci cadangan kami di kantungku, tapi satu ide baru saja muncul di kepalaku.

"Dana, apa lo mau jalan sama gue sekarang?", tanyaku. Mungkin saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya berkencan dengan suasana hatinya yang bagus.

Dana terkekeh, "Maaf, walaupun gue seneng banget sama bunganya, tapi jalannya lain kali aja. Gue barusan pulang kerja, inget? Gue juga besok berangkat pagi", ujarnya.

Aku menghela napas. Baiklah mungkin bukan hari ini. Aku menyerah dan mengeluarkan kunci dari kantongku dan membuka pintu rumahnya. Dana menepuk pundakku pelan.

"Ngeselin banget, bilang dong kalau punya kuncinya", ujarnya bergurau.

Aku melempar senyum lemas padanya, "Tadinya kan gue emang belum pengen pulang", jawabku jujur.

Dana mengambil tulipnya dari tanganku, lalu masuk rumah mendahuluiku. Aku mengikutinya dengan lemas dan menutup pintu di belakangku. Ia menghadap ke arahku dan tiba-tiba saja berjinjit sedikit mencium bibirku. Aku tentu saja tidak menolak dan bertindak cepat membalas ciumannya. Kami berciuman kurang lebih satu menit di pintu masuk rumah.

"Oh, a lot of sweetness here, I see", komentar Katty yang berdiri tidak jauh dari kami di anak tangga terakhir.

Kami berhenti berciuman dan Dana menoleh melihat Katty yang sedang tersenyum ke arah kami. Dana dan aku tersenyum canggung padanya.

"I would love to congratulate you guys, but I am in hurry so I would just walk to the door and congratulate you after this", ujarnya sambil buru-buru melewati kami keluar rumah. "You guys can continue after I go, so bye guys!"

"Bye", ucapku dan Dana hampir bersamaan.

Aku dan Dana saling bertukar pandang. Sepertinya kami sangat menikmati ciuman itu sampai tidak sadar Katty menuruni tangga dari lantai atas. Kami mulai terkekeh bersama-sama, lalu aku menciumnya sedikit lagi.

"Bukan berarti gue nggak mau jalan sama lo, tapi gue emang harus kerja besok jadi-"

"Okay, okay, gue ngerti. Boleh gue lanjutin lagi yang tadi nggak? Kita-"

"Nggak. Kecuali lo mau gue usir dari kamar malm ini".

Aku tertawa terbahak-bahak. Dana meninggalkanku dan berjalan duluan menaiki tangga. Aku mengikutinya sambil masih mencoba menahan tawaku. Kami berdua tahu aku ingin menciumnya lagi dan lagi, lalu melakukan hal yang lebih. Masuk akal jika Dana ingin mengusirku dari kamar kami jika aku menciumnya lebih dari ini. Baiklah, aku sudah menahan segalanya selama ini, tidak masalah jika harus menunggu sedikit lebih lama lagi.

Asalkan aku menghabiskan hari-hari ini dengan Dana, itu juga sudah cukup bagiku.

###

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang