4. Starting a New Life

1 0 0
                                    

Setelah aku memutuskan untuk mendaftar studi pascasarjana, Dana kembali seperti seorang Dana yang kukenal. Santai, ceria, sedikit cerewet, dan banyak tertawa. Tidak sampai lima menit pembicaraan tentang ideku untuk kuliah lagi itu, ia sudah bercerita tentang jenis-jenis bunga yang pernah ia beli di minimarket dekat rumahnya.

Satu jam penuh ia bercerita tentang warna dan bau setiap bunga itu, lalu bagaimana mereka layu. Ia bercerita bagaimana ia bertengkar dengan pramuniaga karena mereka menjual bunga layu dengan harga selangit. Kurasa itu sebenarnya tidak perlu terjadi karena ia sudah membeli apa yang diinginkannya. Ia hanya tidak ingin para pembeli lain kecewa dengan pemasokan bunga di minimarket itu. Menurutku itu hanya minimarket. Semua orang tahu kau tidak akan mendapatkan kualitas yang terbaik di minimarket.

"Tapi kalau nggak gue protes, hari ini satu bunga layu, terus dua, terus tiga, seterusnya sampai stok yang dikasih ke toko mereka yang jelek-jelek doang! Gue nggak mau minimarket di deket gue jadi yang diabaikan".

Masuk akal. Hal buruk yang dibiarkan bisa jadi kebiasaan, tak jauh dari ungkapan itu. Dana benar-benar mengembangkan cara pikir yang berbeda dari Dana terakhir kali yang kutemui.

Di jam-jam berikutnya ia juga menceritakan tentang banyak topik ringan dengan penyampaian berapi-api. Aku teringat bagaimana aku menyukai cerita-ceritanya. Aku bahkan menunggu kelanjutan ceritanya di kemudian hari seperti menunggu episode baru dari Marvel.

Malamnya, ia tidur sebelum jam sembilan malam dan bangun jam delapan pagi. Hari-hari itu berulang dengan segudang cerita-cerita dari bibir mungilnya itu. Aku mulai terbiasa dengan terbangun di pagi hari dan bersiap mendengar ocehannya seharian.

Kami memasak beberapa masakan Indonesia bersama. Dana berkata ia belum pernah memasak makanan Indonesia selama di Eropa. Kami mencoba membuat nasi padang dan gagal bukan main. Kami menggosongkan rendang dan merusak satu panci Dana entah bagaimana.

Dana juga punya permainan papan seperti monopoli, catur, kartu poker, dan domino. Kami memainkan seluruhnya dan tentu saja sambil mendengarkan cerita ringan darinya. Kami juga tertidur di tengah ruangan di depan TV sambil melihat film lama dengan kipas angin menghadap ke arah kami. Karena ini summer, udara selalu terasa panas.

Di sore hari menuju malam, terkadang kami berjalan di sekitar rumahnya dan duduk di taman dekat rumahnya. Ceritanya terus berlanjut. Hal-hal kecil yang membuat hidupnya berjalan.

Tanpa sadar, hari Minggu sudah tiba. Dana harus kerja besok pagi. Aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan besok saat Dana sibuk dengan pekerjaannya. Aku baru saja menyadarinya sekarang ketika aku melihat langit biru cerah yang begitu kosong. Apa yang harus kulakukan besok? Menunggu Dana pulang seperti anjing?

"Let's get a dog", tiba-tiba Dana yang duduk di sampingku mengatakannya dengan nada datar. Kami sedang duduk bersampingan di atas rumput di taman dekat rumahnya.

Aku tahu dia tidak bercanda, tapi aku menatap wajahnya sambil memasang wajah bingung. Ucapan Dana seakan diambil dari pemikiranku barusan tentang aku yang seperti anjing.

Dana balik menatapku, "or a cat! Lo suka kucing atau anjing?"

Kami saling melihat ke dalam mata kami. Aku bisa melihat diriku di kedua bola mata hitamnya yang indah.

"Kucing", jawabku tanpa pikir panjang.

Dana lebih dulu lepas dari "staring contest" kami. Ia berbaring di atas rumput yang kami duduki dan meletakkan kepalanya di pangkuanku. Wanita ini tidak pernah belajar menjaga batasan. Maksudku, ia dahulu banyak melakukannya. Kontak fisik kecil begini. Tapi, saat itu aku masih belasan tahun. Aku masih cukup sabar menghadapi wanita yang menyenderkan seluruh tubuhnya padaku. Tapi sekarang aku sudah 32 tahun dengan perasaan tak terbalas selama belasan tahun. Ia cukup menyiksaku yang sungguh merindukannya ini. Ia menatap mataku lagi dari pangkuanku. Aku menikmati tatapannya itu.

Begin a Story,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang