Akulah yang membuatnya meninggalkan Indonesia.
Aku yang membuatnya menyerah dan kabur meninggalkan keluarga yang sudah lama ia usahakan, cinta yang sangat ia banggakan. Aku ingat sekali ia buru-buru menghampiriku di kantin kampus ketika kami masih semester tiga.
"Gue jadian!", ujarnya. Dua kata yang menghancurkan seluruh tempurung yang mengurungku dalam imajinasiku sendiri.
Seperti yang kusebutkan sebelumnya, aku tidak menyangka akan ada orang lain di antara kami. Aku sudah suka dengan kehidupan sehari-hari kami. Kupikir kami berdua bahagia dan tidak perlu perubahan baru. Semua berubah sejak aku mendengar dua kata itu bersama senyuman lebarnya.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ia bangga dengan kisah cintanya itu. Namun, siapa sangka tanpaku di sampingnya, semua itu tidak berarti apa-apa, sampai ia harus kabur sejauh ini. Ia sudah punya cinta yang ia dambakan, kenapa manja sekali harus aku juga yang membantunya cuma-cuma?
Tiba-tiba aku merasa kesal. Dana sudah pergi dari rumah sejak sepuluh menit lalu. Aku baru merasakan emosi bergejolak di dalam dadaku. Aku marah, sedih, namun sedikit bahagia. Aku sendiri tidak bisa mengekspresikan perasaanku saat ini dalam satu kata.
Aku marah. Kenapa ia serakah sekali? Tidak bolehkah aku patah hati dan menjauhinya demi melindungi perasaanku?
Ia seakan berkata, "Karena kau pergi, aku menyerah".
Walaupun aku sempat merasa bersalah meninggalkan dirinya sendirian di saat itu, sekarang aku marah. Seakan ia meletakkan seluruh alasannya menyerah di pundakku, dan itu terasa berat sekali.
Laki-laki memakai akal dan hampir tidak pernah benar-benar pakai hati, mereka bilang. Omong kosong. Kalau begitu, harusnya aku bisa melupakannya dengan mudah. Kalau begitu, aku tidak akan frustasi sendirian dan memungut seekor kucing kecil untuk mengkompensasi rasa bersalahku. Aku bukanlah satu-satunya. Aku yakin jutaan laki-laki juga mendramatisir hal-hal kecil dan bodoh sepertiku. Kami hanya tidak diajari untuk mengkomunikasikannya. Dan mungkin inilah kesalahan terbesarku dalam kesalahpahaman kami berdua.
Saat ini isi kepalaku berkecamuk dengan rasa bersalah yang bergelut dengan rasa ketidakadilan atas langkahku yang hanya mementingkan perasaanku saat itu. Aku bukannya sengaja meninggalkannya sendirian. Aku benar-benar butuh waktu untuk diriku sendiri. Mataku hangat, rasanya ingin menangis karena emosiku yang tak terbendung.
Aku memutuskan untuk keluar dan mendinginkan kepalaku. Mungkin dengan itu aku bisa berkomunikasi lebih baik saat Dana pulang. Aku membawa kucing kami yang kecil di pelukanku, kuajak ia pergi ke taman di dekat rumah. Aku sudah membawa makanan yang sangat disukai seluruh kucing di dunia ini. Kami bermain di rumput selama dua jam, lalu pulang.
Kuhabiskan waktu dengan membaca buku yang sudah pernah kubaca sebelumnya. Buku karya Dee Lestari, Rectoverso. Sebuah buku yang memiliki puisi-puisi indah dan kisah cinta yang menghangatkan hati walaupun tidak berjalan sesuai rencana. Aku jatuh cinta pada seluruh cerita dalam Rectoverso hingga aku membawanya kemari agar aku bisa membacanya di pesawat.
Rectoverso sangat mendeskripsikan diriku yang memendam cinta sendirian. Selama ini. Bagaimana aku bisa tidak mencintainya.
Membacanya lagi membuatku lebih tenang dan memiliki keberanian. Dahulu, aku membacanya agar aku memiliki keberanian untuk melupakan. Sekarang, aku membacanya agar aku memiliki keberanian mengungkapkan. Aku hanya butuh sedikit keberanian untuk mengakui kesalahanku, mengkomunikasikan seluruhnya.
Sudah kuputuskan. Ketika Dana pulang, tidak peduli apa yang akan ia katakan, aku akan mengungkapkan seluruhnya. Aku akan berteriak dan bertengkar dengannya. Terkadang pertengkaran itu penting untuk kedua belah pihak menyampaikan apa yang sebenarnya, bukan?
Setelah seharian menunggunya, akhirnya ia pulang dari kerja. Aku sudah memasak ayam goreng dan tumis sayuran untuknya. Aku tahu kami tidak akan bicara atau berdebat dengan baik ketika ia lelah dan lapar. Lagipula, kepalaku sudah dingin sekarang dan emosiku mereda. Aku sudah siap berdebat dan bertengkar dengan kepala dingin.
Begitu ia menginjakkan kaki di lantai apartemen kami, aku sudah di koridor menyambutnya bersama Nana, kucing kami. Aku bermain dengan bulu buatan yang kudapatkan dari pet shop bersama dengan seluruh kebutuhan Nana kemarin.
"See? Inilah kenapa gue nyaranin kita punya peliharaan. Ketika salah satu dari kita pergi, yang ditinggalkan nggak akan langsung sendirian", ucap Dana.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku tidak tahu apakah itu sebuah sindiran atau maksudnya aku yang tidak akan bosan ketika ia meninggalkanku pergi bekerja. Kami terdiam beberapa saat.
Aku mulai gugup membicarakan tentang perasaan kami setelah melihat wajahnya yang lelah. Sekarang aku hanya ingin memeluknya dan mungkin memijat kakinya sedikit. Padahal aku sudah sangat siap mengungkapkan apa yang kupikirkan seharian ini. Aku harusnya menyiapkan perasaanku lebih matang lagi. Kudengar, kau harus menyiapkan segalanya lebih dari seratus persen, karena saat tiba waktunya, performamu akan menurun hingga 30%. Dan di sinilah aku, tidak menyiapkannya hingga sempurna, jadi seluruhnya menguap begitu saja.
Karena aku tidak mengatakan apa-apa, ia pun hanya melakukan rutinitas setelah kerjanya dalam diam. Melepas sepatu, meletakkan tas kerjanya dan mengecek ke dalam untuk tidak meninggalkan sesuatu seperti makanan di dalam tas.
"Jadi, kita sepakat kan, siapapun yang pergi duluan nggak akan bawa kucing ini? Kalau lo pengen kucing ini, lo harus jadi orang terakhir yang stay", kataku asal akhirnya.
Ia berhenti mematung setelah mendengarku barusan. Tangan kirinya masih menenteng sepatu untuk dimasukkan ke rak. Ia menatapku seolah baru melihat spesies sepertiku pertama kali dalam hidupnya. Ahh... kurasa dia salah mengartikan ucapanku dengan kekhawatiran dalam otaknya.
"Nggak, bukan karena gue mau ninggalin lo sama kucing ini. Gue suka banget sama kucing ini", kataku, "Jadi, gue bakal stay di sini".
Dana tertawa. Terbahak-bahak. Benar-benar tertawa besar yang tidak berhenti selama dua menit penuh. Raut kelelahan di wajahnya menghilang, kelegaan besar muncul di sana. Setelah meletakkan sepatunya, ia duduk di depanku, lesehan di lantai koridor di depan kamar kami. Ia menatap ke dalam kedua mataku.
"Gisa, gimana kalau kita coba? Kita bisa coba tiga bulan. Kalau gue nggak suka, lo lupain gue. Selamanya. Gimana?", katanya sambil memberikanku senyuman terhangatnya.
Aku menjatuhkan bulu palsu di tanganku, membuat Nana berguling dengan bulu itu di antara kami. Aku terkejut. Ini terlalu buru-buru. Tapi aku tidak mau menjadi orang bodoh yang melewatkan kesempatan ini dengan menanyakan apakah dia bercanda.
"Kalau lo akhirnya suka sama gue, bolehkah gue stay selamanya di sini?"
"Gisa", kali ini ia nyaris berbisik memanggil namaku. Ia memegang kedua tanganku dan menarik tubuhku mendekati tubuhnya. Kami sekarang berhadapan kurang dari semeter dari wajahnya.
Lagi-lagi ia menatap mataku dengan sangat dalam sambil berbisik, "Walaupun gue nggak suka, lo tetep boleh stay di sini selamanya".
"Nyoba as in... kita pacaran?", tanyaku memastikan.
Dana mengangguk perlahan tapi mantap. Aku sungguh bahagia. Aku mengulurkan tanganku meraih kedua pipinya dan hendak menciumnya. Ia menghentikanku dengan kedua telapak tangannya.
"Ini percobaan. Jangan kira sebebas itu lo ke gue. Kurang dari 24 jam lalu, gue masih nggak kepikiran ke arah sana sama lo. So, give me time, okay?"
Aku mengangguk menurut. Kulemparkan senyum terlebarku tahun ini padanya. Kupeluk erat-erat tubuh Dana. Nana melepaskan diri dari area di antara kami dan berlari membawa bulu palsunya ke kamar Dana.
Kami berdua berpelukan dalam diam. Aku melupakan amarahku dan segala macam kekhawatiranku hari ini. Aku hanya memeluknya erat-erat dan membiarkannya bersantai di pundakku selama itu.
Pacar pertamaku setelah belasan tahun lamanya menjomblo. Akhirnya, Dana. Kau milikku.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Begin a Story,
ChickLitFriends? It is a word that I am so tired of hearing for 10 years. Aku juga lelah berdalih apalagi jika kita terlihat terlalu dekat. Aku lelah menertawakan kisah cinta kita yang selalu berantakan. Can't we just begin ours? Toh sudah 10 tahun kita ter...