4. Lentera

16 7 2
                                    

“Hahaha”

“Dia pacar lo tuh!"

“Najis, mending gue gak nikah! Jelek keturunan gue nanti, mukanya aja kaya monyet...”

“Hahaha”

“Kalo ngomong jangan sesuai fakta bro, nanti nangis gak ada laki-laki mau sama dia...”

“Orang mukanya aja mirip monyet!”

Suara cemoohan
berbondong-bondong menyerang Lentera, ia tahu atas fisik yang dimilikinya tak secantik wanita di luar sana. Banyak lelaki dalam hidupnya mengejek Lentera, mulai dari ditertawakan hingga sebutan monyet berakhir nama. Hatinya sudah kebal, tetapi apakah mereka pantas menghinanya?

Lentera hanya seorang perempuan yang ingin dicintai laki-laki dalam hidupnya, tidak terus menerus menerima perlakuan hina.

Setiap hari Lentera berandai-andai menemukan sang pujaan hati, laki-laki yang mau menerima kekurangannya. Ia bukan tidak mau berdekatan dengan lawan jenis, entah sudah beberapa kali Lentera mencoba setelah itu laki-laki langsung menjauhinya. Atas pengakuan cinta Lentera, keesokan harinya ia menjadi buah bibir di sekolah. Membuat Lentera semakin takut mencintai seseorang lagi, berbeda dengan Bara ia akan berjuang keras memikatnya. Ia tau atas konsekuensi yang akan didapat, mungkin Bara akan jijik dengannya bahkan teman maupun lingkungannya ikut serta mengoloknya.

Lentera hanya ingin merasakan cinta.

Mungkin prinsip yang ia miliki mengubah kehidupannya, kalo gak cantik minimal pintar. Beruntung Lentera memiliki otak pintar, hingga bisa masuk kampus bergengsi ini.

“Naya! Clara!” Seru Lentera di lorong, ia tidak peduli terhadap tatapan mata yang melihatnya.

“Tumben gak gasik” ujar Naya.

Lentera memicing mata kesal mendengar penuturan Naya, “Gasik salah telat salah, rumit banget tinggal di Konoha”

“Canda Bun, lagi pms ya?”

“Tau ah, yuk Clara kita tinggalin Naya” tarik Lentera tidak izin dengan sang pemilik.

Naya bergeming di tempat, tidak mencoba mengejar keduanya.

“Salah Naya apa Tuhan? Memiliki teman seperti mereka?” ucap Naya penuh sesal.

“Kebanyakan drama!” itu bukan suara sahabatnya, itu suara laki-laki yang ingin dihindarinya.

“Eh pak Jaka...” Naya berbalik badan dan tersenyum polos “Naya pamit dulu pak, mau nyusul mereka” Naya lari terbirit-birit, tidak mau berurusan dengan dosennya lagi.

Pak Jaka tersenyum melihat kelakuan mahasiswinya.

“Manis


***



Dewangga Bara Pradipta

Seorang pengusaha manufaktur ibukota, usianya yang muda dalam berbisnis banyak orang segan padanya. Kelihaian dan kecerdikan dalam menjalani bisnis patut diacungi jempol, apalagi ketampanan ia miliki membuat para wanita bertekuk lutut.

“Pak Dewangga, Pak Dewangga”

“Ganteng sekali ceo kita”

“Jangan bicara keras-keras, kita bisa hengkang dari kantor ini”

“Ketampanan mana yang kau dustakan”

“Dingin, penuh misteri”

“Itu namanya maskulin”

Tentang Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang