25 : Pemudα Beruntung Pemilik Kαsih Tαnpα Bαtαs

199 13 2
                                        

ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜




°°°PEMUDA BERUNTUNG PEMILIK KASIH TANPA BATAS°°°



ꦿ📜ꦿ📜ꦿ📜

Kicau burung terdengar mengalun-alun, hewan mungil itu senantiasa menyambut hari dengan gembira, walau hawa terasa lebih dingin dari biasanya sehingga mengalihkan pendengaran Jenggala pada suara hembusan angin yang sekarang terdengar lebih mendominasi ketimbang nyanyian para pesayap kecil.

Mungkin karena musim penghujan sudah kembali datang, atau dikarenakan langit yang tak kunjung tersenyum padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

Jenggala membiarkan Raden pergi lebih dulu setelah mengetahui bahwa pria itu semakin membenci dirinya, sengaja membiarkan diri berpapasan di ujung tangga hanya untuk membiarkan bahu sempit itu didorong oleh tubuh tegas Raden.

Sekarang, mata yang tidak secerah hari kemarin itu memandang sendu pada pundak Raden yang mulai menjauh, berdiri sendirian di ambang pagar dengan satu payung transparan yang dia pegang.

Serius dia enggak dikangenin nih?

Mereka tinggal serumah tapi ketika Raden marah Jenggala selalu merasa bahwa mereka menciptakan jarak yang begitu jauh. Jenggala selalu rindu pada pria itu, tapi apakah Raden tidak memiliki perasaan yang sama?

Jenggala menunduk menatap apa yang dia bawa, menimbang-nimbang haruskah dia mengganti payung dengan jas hujan agar bisa menaiki Kuning dengan mudah atau tetap pada payung itu agar kakinya bisa berjalan dengan tenang.

Pada akhirnya Jenggala hanya berjalan, bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang mulai turun ke jalanan. Dia membiarkan sepatunya dibasahi oleh percikan hujan, menghirup hawa yang semakin dingin, membuat paru-parunya sakit bukan main.

Apa yang sudah terjadi di dalam sana? Sampai bernafas pun Jenggala merasakan sakit yang luar biasa.

Payung itu terkatup kembali ketika dia sampai di halte bus, berdiri di antara para orang-orang yang sibuk dengan gawai tanpa mempedulikannya sama sekali, Jenggala juga pada dasarnya tidak peduli.

Sampai pada akhirnya terdengar suara decitan roda, bukan dari Bus yang akan mengantarnya ke sekolah, melainkan dari seorang wanita muda yang tengah kesusahan dengan kursi rodanya, menembus hujan entah mulai dari mana, karena sekarang tangan wanita itu bergetar memegang payung sebisanya.

Jenggala secara cepat meraih pendorong kursi roda milik wanita itu dan mendorongnya masuk ke dalam halte yang teduh. Bajunya sedikit basah, sehingga jemari lentik itu harus mengibaskan air yang menempel di bajunya.

Wanita itu menyimpan payungnya dengan nafas yang lega.

"Makasih udah mau bantu saya, ya?" ucapnya.

Jenggala yang masih sibuk dengan tetesan tetesan yang mulai meresap ke dalam benang itu menatap bingung ke arahnya.

"Hah?"

Wanita itu tertawa. "Makasih udah mau bantuin," ucapnya lagi.

Jenggala ber-oh ria, kemudian tersenyum, tawa ringan itu keluar dengan sendirinya. "Sama-sama," balasnya.

Wanita itu memerhatikan Jenggala dengan lembut, dasi longgar, ujung baju yang keluar, tapi wajahnya anak baik-baik sekali.

"Nama kamu siapa?" tanya Wanita itu tiba-tiba.

Jenggala terdiam sesaat, sebelum menjawab apa adanya. "Jenggala, anda sendiri?"

Wanita itu tertawa mendengar sebutan "anda" untuk dirinya. "Nama saya Linri."

"Ooh, Kak Linri ya, salam kenal, Kak." Jenggala tersenyum ramah.

Linri hanya tersenyum, berbalik menatap derasnya hujan.

HORTENSIA [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang