21. Kediaman Terakhir

3 5 0
                                    

“ Akan ada tempat di mana cerita hidup kita berakhir, namun kenangan dan pengaruh kita tetap abadi di hati orang-orang yang meninggalkan kita“

***

Pukul 09.12 pagi

Pagi hari yang sepi merayu matahari untuk bersinar lebih lembut,berseri senyum kepada bunga-bunga yang merekah, sementara embun-esok tak sabar menari-nari di atas daun yang lembut.

Suasana pagi terasa sunyi, hanya suara angin sepoi-sepoi yang mengelus pepohonan. Hati yang masih dipenuhi perasaan campur aduk, antara kedamaian pagi dan kenangan kejadian kemarin yang masih menyisakan jejak.

Niskala terlihat sibuk memilih pakaian yang akan dipakainya, senyum tipis terukir di wajahnya saat merapikan rambutnya dengan lembut dan segera mengenakan hijab.

Tatapannya penuh perhatian pada setiap detail, seolah hendak memastikan penampilannya sempurna.

Udara di kamar penuh dengan kehangatan dan keceriaan dari sosok Niskala yang tengah bersiap dengan penuh semangat.

Niskala keluar kamar dan mencari ibunya untuk meminta izin pergi ke makam Aditya.

"Ibu..."

"Iya nak, loh mau kemana?"

"Hm mau ke makam Aditya bu"

"Sama siapa?"

"Sendiri"

"Ibu temani ya?"

"Gak usah bu, Niskala pengen pergi sendiri"

"Yaudah tapi hati-hati nak"

"Iya bu"

Niskala pun segera pergi ke makam Aditya seorang diri.

Sesampainya di pemakaman, Niskala melangkah dengan hati yang penuh rindu dan air mata yang tersemat di sudut matanya. Langkahnya tegap meski langit seakan turut merasakan sedih yang terpancar dari dalam dirinya.

Setiap hembusan angin seolah membawa pesan-pesan kenangan yang mengikatnya pada Aditya, dan walau langkahnya berat, kekuatan cinta yang mengalir dalam dirinya memandunya ke arah makam Aditya dengan harapan dan kehormatan.

Niskala duduk di dekat makam Aditya dengan penuh kehormatan dan kesedihan yang mendalam. Tatapannya haru terarah pada nisan yang menandai peristirahatan terakhir pasangan hidupnya.

Di tengah gemuruh angin, Niskala meletakkan dengan lembut bunga-bunga segar sebagai penghormatan dan doa, menyirami mereka dengan air mata yang tulus. Di sana, di antara hening dan getaran hati, ia merasakan kehadiran Aditya yang menguatkan dan merangkulnya dalam damai sejahtera.

"As-assalamualaikum dit" salam Niskala dengan suara yang bergetar

Niskala dengan hati yang hancur duduk di depan batu nisan Aditya, dengan perlahan ia mengeluarkan segala isi hatinya yang tertahan dalam kesedihan yang mendalam.

"Aditya , aku gak nyangka bakal secepat dan sesingkat ini, aku gak nyangka obrolan di pelantaran rumah dan jalanan kemarin menjadi sebuah komunikasi terakhir kita. Bukannya kamu mau kalau kita bersama-sama lebih lama?tapi kenapa sekarang kamu yang pergi selamanya? dan bukannya kamu pengen hubungan kita menjadi hubungan yang abadi? Namun kenapa sekarang kamu yang menjadi abadi bersama angin?"

"Andai saja aku tahu sore itu akan menjadi bab terakhir dalam cerita kita akan ku buat sore itu menjadi abadi, dan jika kejadian itu ku tahu akan terjadi, aku pasti gak akan biarin kamu pulang saat itu juga dit."

Niskala berbicara dengan suara lembut dan penuh keharuan di depan makam Aditya sambil air matanya berlinang tanpa henti. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus air matanya yang membasahi pipi halusnya, tetapi kepedihan dan kehilangan yang terlalu dalam sulit dihapus begitu saja.

Rintihan lirihnya menciptakan dentingan sedih yang beresonansi di sekeliling makam, namun semangatnya tetap tegar meski hatinya hancur.

Telinga batu nisan menjadi saksi diam dari setiap ungkapan yang keluar dari lubuk hati Niskala, sementara teman-teman menyajikan dukungan dan kehangatan dalam kesunyian yang mengisi alam kuburan.

Meskipun kepergian Aditya meninggalkan luka yang dalam, Niskala merasa sedikit lega bisa berbagi beban hati kepada yang sudah tiada.

***

Bersendu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang