"Ngopo to Dek kok nesu ki?" Eko melihat heran istrinya yang sedang berdandan tapi dengan wajah cemberut.
"Aku ngerti Mas ki menengan, ning yo mbok Marni ki di jak omongan." Sumi memakai lipstik merah marun sambil bercermin. "Seko Raka cilik nganti saiki saben dino momongke. Mbok yo matur nuwun." Lirikan mata kesal Sumi kepada suaminya begitu dingin.
"Lak yo wis tak tukokke tas ro klambi barang pas lebaran?"Bela Eko. Dia merasa sudah memberikan imbalan yang sesuai dengan kebaikan Marni selama ini.
"Koe ki ra ngerti po nek kabeh ditolak?!"Sumi menatap suaminya garang.
"Ditolak? Lha tekne ngopo?" Tantu saja Eko tidak tahu.
"Men awake dewe seneng, ditompo neng wong tuone Marni. Ning Marni ra gelem nganggo kabeh. Gur dinehke sedulure." Jelas Sumi kesal. "Jare Marni wedi nek ora oleh momong Raka meneh." Sumi mengenakan anting kiri yang indah.
"Dek Raka!" Suara Marni di depan pintu.
"Nggih Mbak Marni!" Jawab Sumi sambil mengambil tas kecilnya. "Intine ki ramah, ojo medeni bocah. Sukur-sukur iso ngewangi Marni genti nek enek tugas sekolah sing wonge raiso." Sumi mewanti-wanti suaminya sambil berjalan cepat keluar kamar, menghampiri Marni di depan pintu.
"Tak arisan sek yo Mbak Marni. Raka wis turu ket mau, paling sedilit meneh tangi." Pesan Sumi kepada Marni yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Enggih Mbak." Balas Marni sopan.
Sumi berjalan cepat karena hampir terlambat. Rumah Bu RT hanya terpisah dua rumah, hanya saja di desa jarak rumah satu dengan yang lainnya masih terlalu jauh. Marni masuk ke dalam kamar tempat Raka tidur dengan pulas. Setelah melihat sejenak, Marni kembali ke ruang tengah lalu menggelar tikar. Marni masuk lagi ke kamar dan mengambil cucian kering yang masih diletakkan begitu saja di samping Raka. Marni mulai melipat pakaian satu persatu. Eko melihat itu semua sambil merokok dan minum kopi di ruang tamu. Tidak ada sekat apapun yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Marni sudah biasa melakukan itu semua. Walaupun dicegah Marni tetap melakukannya. Marni membantu banyak pekerjaan Sumi sebagai ibu rumah tangga. Itu semua dilakukan Marni agar tetap bisa bermain dengan Raka, karena Marni sangat ingin mempunyai adik. Padahal Marni bermain dengan Raka saja sudah sangat membantu pekerjaan Sumi. Sebagai ibu rumah tangga Sumi dapat melakukan hal lainnya jika Raka bersama Marni. Apa yang Sumi rasakan Eko tidak tahu. Bukannya tidak mau bersikap ramah, Eko hanya pendiam. Tentu saja dia lebih suka diam daripada berbicara. Hanya saja dia tidak mau melihat istrinya terus cemberut, jika dia tidak ramah dengan Marni.
Marni saja mungkin sedikit takut dengan Eko. Bagaimana tidak? Badan Eko lumayan tinggi dengan perut buncit. Mulut sedikit monyong, dahi lebar dan rambut keriting pendek cepak. Tidak lupa kulitnya yang hitam. Perpaduan yang sangat menakutkan. Benar-benar terlihat seperti gorila. Padahal saat Eko tersenyum, gigi putihnya memberikan kecerahan di wajahnya. Hanya saja dia sangat jarang melakukannya. Ditambah lagi Eko juga orang yang pendiam. Siapa yang tidak takut dengannya?
Marni hanya sedikit melirik sesekali, dia sudah terbiasa. Walaupun berdua di rumah itu dia merasa sendiri. Dia terus melipat pakaian tanpa mempedulikan Eko. Marni masih kelas 4 SD. Rambutnya lurus sebahu. Wajahnya bulat dan terdapat lesung pipi. Tubuhnya berisi, tingginya mungkin hanya sampai di dada Eko. Buah dada Marni sudah mulai tumbuh, tapi belum sebesar itu hingga dia harus memakai BH. Hanya sedikit menonjol dari dada anak seumurannya.
"Sekolahmu kepiye?"Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari mulut Eko. Marni terkejut sambil menengok ke sumber suara. Eko benar-benar menanyakan itu.
"Sae Mas."Jawab Marni singkat dengan penuh keheranan.
"Enek PR ora?"Eko masih mencoba untuk mencairkan suasana yang mustahil dilakukannya.
"Enten wingi Mas, ning pun kulo garap." Tentu saja sudah, Marni anak yang rajin dan pintar. Hari Minggu seperti ini dia gunakan untuk bersantai. Seluruh tugas pasti sudah dikerjakannya.