"Marni?!" Mbah Adi menyapa Marni yang baru saja membuka pintu samping rumahnya.
"Mbah!!! Njingkat aku." Marni memegang dadanya terkejut. Bahkan Marni juga menengkok ke arah Mbah Adi dengan wajah terbelalak.
"Arak ngandi subuh-subuh ki?" Tanya Mbah Adi sedikit heran Marni keluar rumah saat masih gelap.
"Kulo pun kebelet Mbah, ajeng ngentosi padang pun mboten kuat." Jawab Marni polos. Mbah Adi adalah tetangga Marni. Walaupun begitu jarak rumahnya tidak terlalu dekat.
"Yo aku tak neng kene, rasah wedi." Mbah Adi mematikan senter sambil memutar badan membelakangi Marni. Sebenarnya Marni juga ingin merasakan kontol Mbah Adi, tapi takut dengan sarung, bajo koko dan kopyah Mbah Adi. Walaupun bukan ayah atau kakek seperti yang dibilang Mas Eko, orang seperti Mbah Adi termasuk yang tidak akan gentar untuk digoda.
"Matur nuwun Mbah, nyuwun ngapunten nggih." Mbah Adi membenarkan sarungnya.
"Ora popo, gek oro nek rep pipis." Jawab Mbah Adi santai. Marni menurunkan celana dalam sampai ke paha, tapi begitu akan jongkok Marni malah menarik kembali celana dalamnya ke atas. Senyum Marni begitu nakal di balik punggung Mbah Adi.
"Mang senteri Mbah!" Perintah sopan Marni.
"Loh, lha tak kiro gur rep pipis neng kene." Mbah Adi mengekor Marni dengan senternya menjauhi jalan setapak dan rumah Marni. Semakin dalam ke semak-semak. Marnipun berhenti dan berbalik badan saling menghadap.
"Mboten sah dipateni senter e Mbah!" Walaupun Mbah Adi sedikit terkejut dan bingung tapi dia tidak mematikan senternya. "Njenengan nggih mboten sah minger!" Perintah halus kedua Marni juga dituruti Mbah Adi. Diapun menyaksikan Marni menurunkan celana dalam dan jongkok dengan cahaya senter. Terlihatlah tempik merah muda Marni yang menyemburkan air kencing. Mbah Adi melamun cukup lama membayangkan hal yang sangat dia inginkan. Walaupun begitu akal sehatnya masih menang. Bagaimana mungkin anak yang sudah dianggap cucunya itu akan tega dia sakiti? Mbah Adi tidak akan merusak masa depan Marni. Mungkin itu semua dilakukan Marni karena takut.
"Pun marem dereng Mbah?" Tanya Marni nakal. Jari tangan Marni malah memainkan tempiknya dan sengaja membuka lebar kedua pahanya. "Nek pun marem mang pateni senter e!" Mbah Adi langsung mematikan senter. Semburat awan putih di ufuk timur memayungi nafsu kedua insan beda tiga generasi tersebut. Marnipun berdiri dan mendekati tubuh Mbah Adi yang mematung terkejut dan bingung. Marni mendekapnya perut Mbah Adi yang sedikit buncit. Badan gempalnya bergetar menahan nafsu dan rangsangan nakal Marni.
"Njenengan ajeng pipis mboten Mbah?" Tanya Marni sambil mengerayangi selangkangan Mbah Adi. Marni melepas sarung dan membiarkannya jatuh begitu saja. Mbah Adi sudah tidak memakai apa-apa lagi dibalik sarungnya. Kontol gemuk besarnya ngaceng sempurna.
"Wah, gede banget yo Mbah?" Marni memegang batang kontol Mbah Adi dan mulai memainkannya dengan tangan. Mbah Adi pasrah tidak berdaya. Nafsunya masih bisa sedikit ditahan agar tidak memperkosa Marni. Mungkin Marni hanya penasaran dengan kontolnya.
Aaahhh hhoohh eengghh
Lanjutkan ke
https://karyakarsa.com/kabut15/10-fajar