Dengan kebingungan yang luar biasa Surti berjalan gontai meninggalkan rumah. Setapak demi setapak dia semakin jauh dari rumah. Dia masih belum memutuskan jalan hidupnya. Rahasia terbesar yang selama ini dia simpan rapat ternyata sudah tebuka lebar sejak dulu. Dia justru memikirkan suaminya yang menahan beban selama ini. Benar juga, dia bekerja keras untuk merawat orang yang bukan darah dagingnya. Rasa iba itu langsung sirna mengingat ganasnya tubuh telanjang Yuni bergoyang liar di atas tubuh suaminya. Tega-teganya dia berbuat begitu kepada keponakannya sendiri. Merusak masa depan Yuni.
"Kambile niki pinten Mbak?" Harga kelapanya berapa Mbak? Surti sampai ke tempat tujuan. Tangannya memilih beberapa kelapa yang ada di sana. Mengangkat, melihat sekelilingnya dan mengguncangkan pelan.
"Sing ageng niku sewu Mbak." Yang besar seribu Mbak. Jawab Suparti pelan. Biasanya ibu-ibu akan belanja petang sebelum anaknya berangkat sekolah. Walaupun agak aneh, tapi Suparti tidak begitu memikirkannya.
"Nggih niki setunggal, kalih gori, dong so, kacang tolo niki, tempe ne dadi mboten niku Mbak?" Kelapa yang ini satu, sama nangka, daun melinjo, kacang merah, tempenya sudah jadi belum? Surti memilih beberapa bahan masakannya.
"Dadi, pas nek rep nggo njangan gori." Sudah jadi, cocok untuk santan nangka. Suparti mengambil satu tempe dan membukanya. Benar, tempe itu sudah jadi dan cocok untuk disayur bersama nangka muda.
"Nggih niku sedoyo pinten Mbak?" Semuanya berapa Mbak? Surti mengambil uang dari dalam kotangnya.
"Kalih ewu tigangatus Mbak." Dua ribu tiga ratus Mbak. Suparti memasukkan semua belanja ke dalam plastik lalu menerima uang Surti.
"Matur nuwun Mbak, ajeng terus." Terima kasih Mbak, pamit dulu. Pamit Surti.
"Enggih Mbak, sami-sami." Iya Mbak, sama-sama. Suparti menjawab dan kembali ke dapur. Dia juga sedang memasak.
Surti kembali berjalan dengan arah yang berbeda dari jalan datangnya tadi. Disengaja tentu saja. Semakin lama semakin dekat dengan tempat tujuan utamanya."Kulo langkung Mbah." Numpang lewat Mbah. Teriak Surti keras sekali. Mbah Suliyem menengok ke arah Surti.
"Owalah, Surti. Monggo Nduk. Seko ngendi?" Surti? Silahkan. Dari mana? Teriak Mbah Suliyem lebih keras.
"Niki saking pados tempe. Nderek langkung Mbah." Dari beli tempe. Numpang lewat Mbah. Teriak Surti lagi. Bukan karena jalan setapak itu jauh dari rumah, karena Mbah Suliyem sudah berkurang pendengarannya.
"Monggo Nduk." Silahkan Nduk. Mbah Suliyem tersenyum senang. Surti terus menapaki jalan setapak lebih jauh. Hingga rumah Mbah Suliyem hampir tidak terlihat lagi. Lalu langkah kaki Surti berbelok, keluar dari jalan setapak. Setelah agak jauh ke dalam, Surti beristirahat di bawah pohon nangka yang rindang.
"Aku kaget setengah mati. Trangane koe iseh gelem ketemu aku." Aku kaget setengah mati. Ternyata kamu masih mau menemuiku. Sudar datang mendekat dengan napas yang masih ngos-ngosan. Sepertinya dia berlari mengejar Surti, yang sudah menunggunya di bawah pohon nangka ini. Seperti beberapa tahun yang lalu.
"Krungu to aku liwat mau?" Tadi dengar saya lewat? Surti meletakkan plastik belanjaannya di samping. Dia kembali menatap mantan kekasihnya itu, semua kenangan indah bersamanya memenuhi memori seketika. Sudar berkulit bersih dan berwajah tampan. Tubuhnya pendek berisi, sekarang perutnya sudah sedikit buncit. Dulu banyak perempuan yang tergila-gila kepadanya, tapi pilihannya tetap jatuh kepada Surti. Hingga perjodohan Surti mengandaskan kisah cinta mereka.
"Lha krungu wae, simbok mbengok koyo nggono kabeh uwong neng ngomah genah rungu." Jelas dengar, jika Simbok berteriak seperti itu semua anggota rumah pasti dengar. Itulah sebabnya Surti berteriak tadi. Untuk memanggil Sudar ke sini.