06. Keputusan

23 3 0
                                    

Pagi hingga menjelang siang Helena hanya menunggu Haris yang tengah sibuk dengan jadwal kerjanya.

Tak jarang dirinya dihinggapi rasa bosan yang memuakkan. Lebih dari empat jam berlalu, tapi entah kenapa itu membuatnya jenuh.

"Sampai kapan aku menunggunya?" Gumam Helena sambil merebahkan tubuhnya diatas sofa panjang.

Sekejap rasa kantuk menyerangnya. Baru kali ini dia merasakan kantuk di siang hari. Padahal di hari-hari biasanya dia pastinya sedang sibuk dengan urusan rumah atau kantor.

Belum sempat menutup matanya. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang berarti ada seseorang yang masuk.

"Maaf aku mengganggumu. Beristirahatlah jika memang kamu lelah," ucap Haris mendekati Helena yang berada di sofa.

Helena beralih duduk. Rasa kantuknya berganti rasa kesal yang sejak pagi dipendamnya.

"Bolehkah aku pergi dari sini?"

"Kamu bosan menungguku, ya?"

"Sudah empat jam aku menunggu tanpa melakukan apapun. Sudah pasti membosankan," jawab Helena dengan sewot.

Haris tersenyum lebar, "Aku senang kamu mulai menunjukkan perasaanmu padaku."

"Jangan mengalihkan pembicaraan."

Lagi-lagi Haris hanya mampu tersenyum. Menggemaskan sekali melihat Helena nya kesal.

"Aku pergi saja. Sore nanti jika sempat aku akan kembali, itupun kalau ingat." Helena beranjak pergi dengan membawa tasnya.

Haris berniat menahan Helena. Namun tak mengejar karena, Pedro menahannya lebih dulu.

"Maaf, Tuan. Ada Pak Robby menunggu Anda di ruang rapat," beritahu Pedro segera.

Tak ada pilihan lain Haris pun memilih membiarkan istrinya mencari udara segar. Sementara dirinya fokus dengan pekerjaannya.




Di tengah hari yang begitu terik membuat Helena kian kesal karena, cuaca yang panas dan suasana hati yang tak kunjung membaik.

Tak ingin berpergian seperti orang bodoh. Helena pun memilih pergi ke kantornya untuk mengecek pekerjaan yang menghantui pikirannya sejak pagi tadi. Mengingat pekerjaannya yang semakin banyak setiap harinya membuat dia harus bekerja lebih keras dari sebelumnya. Repot sudah pasti tapi tidak mungkin dia menyerah begitu saja dengan apa yang sudah ia dirikan dan perjuangkan selama ini.

Sejak usianya yang masih muda Helena telah bercita-cita menjadi desainer interior ternama. Memang tak mudah membangun bisnisnya, tapi tak kalah sulit untuknya membujuk kedua orang tuanya terutama sang Ayah agar mengizinkannya mendirikan bisnis. Apalagi Ayahnya sangat protektif terhadapnya sekalipun dia sudah menikah dengan Haris pada saat ini. 

Jika mengingat kebersamaannya dengan sang Ayah terkadang dia merindukan masa-masa di mana Ayahnya masih hidup. Memang sudah cukup lama, tapi sejujurnya tak mudah baginya untuk bangkit dan memulai lembaran baru dalam hidupnya tanpa sang Ayah disisinya. Belum lagi dia juga harus berjauhan dengan sang Ibu yang memilih kembali ke kota kelahirannya untuk mengenang kembali masa indah bersama suaminya.

"Apa yang mengganggu pikiranmu?" 

Helena menoleh ke arah sumber suara. Sudah lebih dari dua tahun dia tak mendengarkan suara lembut ini secara langsung.

"Hanya merindukan Ayah. Duduklah, Bu."

Seorang wanita paruh baya yang tampak anggun dengan gaun coklat dan senyumannya yang hangat menyimpan kerinduan pada putri semata wayangnya. 

"Putriku, Ele." Juwita memeluknya erat merasakan rindunya mulai terobati.

Panggilan yang selalu didengar Helena sejak kecil itu akhirnya kembali diucapkan oleh Juwita setelah sekian tahun berduka atas kepergian mendiang suaminya. Pasalnya panggilan ini bermula dari Akbar yang selalu kesulitan memanggil Helena dengan nama lengkapnya.

Love : After MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang