Sepuluh

12.4K 53 0
                                    

Kiara masih ngambek.

Lebih tepatnya kesal dengan kekasihnya yang super jail. Tapi bagaimana dia gak kesal kalo pipinya digigit hingga menimbulkan bekas?? Tentu saja Kiara sebal bukan main, lihat saja nanti, akan dia adukan dengan sang Papa kelakuan kekasihnya yang sangat menyebalkan itu.

Untuk Doni sendiri, dia sih bodoamat. Nanti di cium sampe mampus juga baikan. Hehehe. Sekarang mereka sudah sampai di kediaman Papa Kiara, rumah bercat hitam coklat berdiri megah di depannya. Rumah yang Kiara rindukan namun dia lebih memilih tinggal di apartemen karena kurangnya kenyamanan.

Kiara menatap bangunan megah di depannya, ada sedikit keraguan tapi mencoba biasa saja karena dia datang bersama kekasihnya, bukan sendirian.

Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.

Iya, semoga.

Menarik napas dalam, Kiara melangkah lebih dulu. Meninggalkan Doni yang baru keluar dari mobilnya.

“Ay, kok aku di tinggal sih!?” serunya berlari dan ingin merangkul Kiara, tapi wanita itu lebih dulu menghindar. “Masih ngambek dih.”

Kiara melengos kesal dengan bibir maju beberapa senti membuat Doni tertawa geli dan langsung menyusul kekasihnya.

Ngomong-ngomong, dia sudah menghubungi calon mertuanya itu jika dia akan berkunjung hari ini. Tentu saja Papa Kiara dengan senang hati menyambut dan tidak masuk ke kantor.

Pria itu juga pasti merindukan anaknya yang lebih memilih tinggal di apartemen dari pada di rumah megah ini. Jika anaknya berkunjung, tentu saja pasti akan ia luangkan waktu.

“Kalian sudah datang.”

Doni dan Kiara di kejutkan dengan suara bariton yang duduk di sofa, kedua manusia yang masih berdebat kecil itu seketika kompak mengulas senyum dan berjalan mendekati pria yang sedang membaca koran itu.

“Papa!”

Wira—Papa Kiara langsung tersenyum lebar dan menyambut anaknya yang berjalan cepat ke arahnya. Tangannya dia lebarkan dan menangkap tubuh sang anak yang langsung menjatuhkan diri di samping dia duduk.

“Kangen banget aku tuh sama Papa.”

“Lagian kamu jarang kesini, disuruh tinggal disini aja gak mau juga katanya mau mandiri. Mandiri apa lagi, orang disana suka ngerepotin Doni juga.”

Kiara terkikik geli. “Biarin, dia suka aku repotin.” Balasnya membuat Wira menggeleng saja dan mengelus punggung anaknya. “Lagian deketan dari apartemen kalo mau ngampus, Pa.”

Pelukan itu Wira urai. “Tapi jangan lupa pulang juga sayang.” Katanya lembut seraya mengecup keningnya. Kiara tersenyum saja, dia mengedarkan pandangannya sekitar. Tidak ada yang berubah setelah beberapa minggu dia tidak pulang, semua masih sama.

Rumah besar yang Papanya bangun memang nyaman, namun tidak dengan penghuninya yang baru masuk dan ikut menempati dua tahun terakhir ini.

“Cari siapa? Mami, kamu?”

Bukan, bukan Maminya.

Dia tidak memiliki Ibu baru, Mamanya hanya satu walaupun orang yang dia sebut Mama menganggapnya hanya jika butuh saja.

Tapi demi menghormati sang Papa, dia hanya mengangguk dan bergumam. Tapi tatapannya tak lepas dari Doni yang mengulas senyum lembut di sebrangnya.

“Lagi keluar arisan sama temen-temennya. Gak Papa kasih tau kalo kamu mau kesini soalnya Doni ngasih tau mendadak terus pas Mami kamu udah ada acara hari ini. Papa gak mau ganggu acara pentingnya itu.”

DOKIA (DONI DAN KIARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang