Tiga

23.1K 74 0
                                    

“Bunda! Abang pulanggg!”

Doni berjalan ke dalam dengan banyak belanjaan di tangan, tak lupa Kia berjalan di sampingnya.

“Loh? Kok gak bilang kalo datengnya sama Kia? Kan tadi Bunda udah bilang kalo mau dateng bilang-bilangg.” Seru Bunda dari atas.

Doni mendongak, pria itu menyengir lebar dan menaruh belanjaannya di sofa. Lalu, tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ia lupa akan hal itu, gara-gara terlalu asik bermain di basement mall, dia jadi lupa mengabari sang Bunda.

“Maaf, Bun. Lupa keasikan belanja tadi.” Katanya berbohong dan berlalu dari sana. Mana mungkin dia mengatakan pada Bundanya jika dia tadi sempat make out dengan Kia.

Bunda hanya menggeleng pelan, dia tersenyum lembut menatap Kia yang juga menatapnya. “Udah lama Kia gak kesini, sibuk ya sayang?”

Kia menyengir lucu, dia mendekati Bunda dan memeluknya singkat. “Bunda apa kabar?” tanyanya di dalam rengkuhan Bunda dan berjalan ke sofa.

“Baik, paling Cuma asam uratnya suka kambuh.”

“Pasti Bunda masih suka makan kacang-kacangan, ya? Ih bandel banget Bunda ini.” Sengutnya. “Padahal Kia udah bilangin loh, jangan makan kacang-kacangan nanti kambuh. Nanti nyeri lagi persendiannya.”

Bunda Doni tertawa, memang pacar anaknya ini sangat cerewet. Sangat dekat juga dengan keluarga, sudah dianggap seperti anak sendiri.

“Ya gimana, soalnya Bunda kadang juga kepingin, Ki. Jadi suka nyoba dikit-dikit aja pas masak.”

“Ya gitu, Bunda tuh nakal, Ki.” Sahut Doni datang dengan dua gelas minuman.

Bunda sedikit memberenggut. “Namanya pingin, Don.” Ia lalu menoleh pada Kiara. “Kia siang ini mau makan apa? Bunda buatin khusus buat kamu, kan udah lama gak kesini.”

“Ih, Bunda. Gak usah tau, nanti ngerepotin.” Tolaknya halus.

“Kenapa sih? Orang gak ngerepotin kok, Bunda malah seneng.”  Katanya. “Udah bilang kamu mau apa? Nanti Bunda buatin, kaya siapa aja gayanya.”

Kiara tertawa, dia menyandarkan tubuhnya pada Ibunda pacarnya. “Nanti aja ih, Bun, masaknya. Aku bantu nanti, sekarang aku mau lepas kangen dulu.”

“Dihhh!” sengut Doni. Dia sejak tadi sudah seperti patung tidak di hiraukan keduanya.

“Apa, Don? Kamu iri sama Bunda?” godanya.

“Ya enggak lah,” bantahnya. “Kenapa juga cemburu, kalo Kia deket sama Bunda aku malah seneng, gak perlu susah-susah minta restu kaya di film-film.” Serunya gamblang membuat keduanya tertawa.

“Lagian mana mungkin Bunda gak suka kalo pacar kamu lucu terus manis gini. Baik juga lagi, kan Bunda gak tega kalo mau jadi kaya calon mertua di film-film gitu.”

Kiara tergelak lagi, antara malu dan senang juga karena Bunda Doni sudah menganggapnya anak seperti anak sendiri.

Bagaimana tidak dianggap seperti anak sendiri jika mereka juga pacaran sudah cukup lama. Sudah dari awal masuk mereka pacaran, dan dari awal langsung di kenalkan.

“Ngomong-ngomong dimana Koi, Bun? Tadi Idhan bilang Koi yang minta aku kesini buat main sama dia.”

Bunda mengusap lembut kepala Kia yang bersandar di tubuhnya. “Tadi minta izin main ke tetangga sebelah, katanya mau adu balap kura-kura.”

Doni yang sedang bermain game langsung mendelik. “Agak lain juga itu bocah.”

Kia terkekeh. “Adek kamu itu,” serunya.

DOKIA (DONI DAN KIARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang