9

226 38 0
                                    

Sejak tragedi jatuh dari sepeda Anindya dan Sakya belum bertemu lagi, Keesokan harinya Sakya dijemput untuk pulang dulu karena katanya ada kepentingan. Info itu pun Anindya dapat dari neneknya, Sakya tidak ada memberi tahu baik langsung maupun lewat chat.

Sudah seminggu. Tidak ada pesan. Sakya melupakan bestienya ini.

Anindya menatap kontak Sakya dengan serius, antara iya dan tidak memenuhi kepalanya. "Hmmm," lalu ia menggeleng. "Gak, aku manusia anti teleponan."

****

Sakya menatap halaman luas rumahnya dengan tatapan kosong, ia mendadak pulang karena keadaan Kakenya yang tiba-tiba sakit parah dan tak sadarkan diri. Seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Sakya, karena semenjak sakit Kakek diurus oleh keluarganya.

Dari kecil Sakya dekat sekali dengan kakeknya ini, setiap ayah memarahi atau mengusirnya Sakya akan mengungsi dan mengadu pada kakeknya.

Sekedar Informasi, Sakya dan kakak ketiganya yang sekarang sedang di penjara adalah anak-anak langganan diusir. Kakaknya pergi ke tempat-tempat yang salah sehingga kini terjerat kasus, sedangkan Sakya pergi ke rumah pendiri YK Grup.

Gena menghampiri anak bungsunya lalu mengusap punggungnya. "Kakek udah baik-baik aja, masa kritisnya udah lewat, kamu gak usah terlalu khawatir."

Sakya hanya mengangguk.

"Kamu mau makan apa?" Tiba-tiba Gena teringat sesuatu. "Oh iya! rumah di Kampung jangan di rusak, itu satu-satunya peninggalan orang tua Mami."

Sakya mengangguk lagi.

"Sakya," Gena menangkup kedua pipi Sakya lalu menatapnya. "Kakek pasti sembuh, udah gak usah sedih lagi ya?"

"Iyaa," jawab Sakya lemas.

"Papi bilang katanya gapapa tanah itu gak kamu beli, kamu di sana aja dua bulan."

"Buat apa?"

"Back to nature," celetuk Gena sambil nyengir.

"Mami ih!"

"Pergantian direktur sebentar lagi, sepupu kamu juga jadi saingan, makanya sebisa mungkin papi pindahin kamu dulu kesana."

"Iya," ucap seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping Sakya. Seorang pria tampan mengenakan jas hitam.

Riksa, Kakak pertama Sakya.

"Tapi kan Kak," sanggah Sakya tak setuju. Walau di sana ia mendapat teman, tetapi kehidupannya itu di Kota. Ya, Sakya mengakui jika dirinya menyukai alam, tapi tidak untuk hidup di pelosok yang jauh dari mana-mana.

"Lo mah enak mau naik jabatan cuma di pindahin ke pelosok dua bulan doang." Ketus seorang lelaki tampan berjas abu-abu.

Arka, Kakak kedua Sakya.

Salah satu saudara yang selalu iri dan menentang apapun yang ditugaskan untuk Sakya. Arka merasa tidak adil, ia dan Riksa harus berjuang bahkan harus merelakan masa muda mereka, sedangkan Sakya hanya tinggal menerima saja.

Makanya itu, selama 2 tahun Sakya menjadi anak magang. Itu karena ulah Arka.

Sakya menatap kesal kakak keduanya itu. "Lo gak tau aja apa yang gue rasain, lo bilang enak karena lo gatau susahnya!"

"Apa sih susahnya? Anak bungsu yang selalu dimanja Mami emang tau apa?" sarkas Arka menatap rendah Sakya.

"Udah!" Gena menatap satu-satu putranya. "Arka! gak ada yang Mami manjain, kasih sayang yang Mami beri buat Sakya,  Mami juga beri buat kamu. Semuanya sama, Gak ada yang dibeda-bedakan!"

"Tapi Mami beda sama bang Karsa," sanggah Arka.

"Karena Karsa salah." Sahut Gena masih dengan tatapan tegasnya.

"Udah Ka, ini adil buat semuanya." Riksa menarik Arka pergi. "Mi, nanti aku langsung pulang ke rumah ya, gak nginep di sini."

Gena mengangguk. "Hati-hati Kakak, Abang."

"Aku juga ke kamar dulu."

"Mau makan dulu? biar Mami masakin,"

Sakya menggeleng. "Nanti aja."

Sesampainya di kamar Sakya langsung merebahkan tubuhnya di kasur, ia menatap ponselnya lalu mengetikkan sesuatu.

"Halo? Lagi apa?"

"Siapa ya?"

Sakya terkekeh. "Ini bestie lo, pasti kangen banget ya sama gue."

"Dih, percaya diri banget."

"Lagi apa?" tanya Sakya lagi.

"Nanem bunga."

"Bunga apa?"

"Matahari."

"Pantesan Sentul mendung, mataharinya lagi ditanem."

Anindya hanya berdecak mendengar lelucon garing Sakya.

"Nin, gue cape banget."

"Tidur,"

"Kakek gue udah seminggu gak bangun-bangun, gue sayang banget sama dia, gue belum minta maaf, gue belum bilang makasih."

"Jangan gitu, kakek lo pasti bangun, berdoa terus."

"Nin, tapi gue cape." Suara lemah itu membuat hati perempuan di seberang sana ikut berdenyut sakit.

Anindya menatap pohon bunga matahari yang sedang ia tanam. Dulu juga ia merasakan perasaan tersebut.

Seakan tahu suasana hati Sakya sedang gelap, langit pun menurunkan airnya begitu deras disertai dengan cahayanya.

"Sakya, gue juga pernah merasakan, bodohnya gue dulu hanya berlarut-larut dalam kesedihan, gue cuma diem tak berdaya sampe-sampe gue gatau hari ini langit sedang cerah atau mendung." Anindya membuang napas kasar. "Tekad lo harus kuat, hati lo harus ikhlas, apapun yang akan terjadi kedepannya harus siap lo hadapi."

"Boleh sedih?"

"Boleh, asal lo jangan berpikiran untuk menyalahkan diri." Anindya bergumam, "Jangan sampe kayak gue."

"Nin?"

"Enggak, pokoknya lo harus semangat! nanti gue traktir es lilin."

Sakya tersenyum. "Makasih,"

"Yups, sama-sama bestie."

"Tapi Nin,"

"Kenapa?"

"Jujur, lo kangen gue kan?"

"Gak!" jawab Anindya cepat.

"Kok gitu sih? padahal gue kangen banget."

Tak ada jawaban dari Anindya, Sakya hanya mendengar suara grasah-grusuh.

****

selamat beristirahat semuanya, maaf up malem banget🙏🏻

#kimjiwon #kimsoohyun #soowon #nabastala

NABASTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang