LPJ BEM kepengurusan Pak Pres telah berakhir, aku lega karena sesuatu yang harus kuhindari jadi berkurang satu, padahal dulu BEM selalu menjadi tempat pelarian nomor satu. Tersisa dua hal yang belum bisa aku singkirkan dari pikiran dan hidupku. Kuliah dan Ryo. Rajin menghadiri kuliah bukan berarti membuatku tiba-tiba mencintai jurusan ini, tapi justru makin banyak yang membebani pikiranku dan aku sendiri tidak yakin bisa lulus dengan jumlah semester maksimal untuk sarjana yaitu dua belas semester. Jika lebih dari itu tentu saja Drop Out dari kampus sesuai peraturan akademik. Benar-benar DO.
“Jav, mau ke mana?” tanya Ryo yang yang secara ajaib sudah berjalan di sampingku ketika aku selesai kelas siang ini.
“Pulang, tidur.”
Ryo menghentingkan langkah dan memandangku heran. Aku jadi ikut-ikutan mengerutkan dahi. “Lo jadi mahasiswa kupu-kupu sekarang? Bukan kura-kura?” tanyanya.
“Apa, sih?” Aku melanjutkan jalanku, tidak menggubris ucapan Ryo.
“Kupu-kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang.”
“Kura-kura?” tanyaku yang ujung-ujungnya penasaran juga.
“Kuliah-rapat-kuliah-rapat,” jawab Ryo tanpa cekikikan seperti biasanya. “Lo beneran udah enggak nge-BEM?”
“Udah selesai, sekarang siap-siap ganti kepengurusan.” Aku jadi sewot karena mengingat Bang Dito dan Ogi yang mengobrol tentang bakal calon Presbem baru dan diskusi yang tidak melibatkan aku secara terang-terangan kemarin.
“Terus, lo enggak lanjut di sana?”
Aku menggeleng.
“Wow! Gue kira lo bakal jadi Menteri Sospol, Jav.”
“Sayangnya, enggak bisa.” Ah, aku jadi ingat lagi soal IPK-ku yang di bawah standar.
“Kenapa enggak bisa?” Ryo lama-lama sudah seperti wartawan.
“Lo kenapa kepo banget, deh!” sungutku.
“Gue, kan, cuma nanya. Galak amat, ih.” Ryo memasang wajah pura-pura takut.
“IPK gue, enggak nyampe batas minimal jadi menteri,” ucapku datar. Ya, apalagi yang perlu ditutupi. Memang kenyataannya seperti itu.
“Hah? Jadi menteri ada persyaratan IPK juga?” Kali ini Ryo seperti benar-benar kaget.
Aku menganggukkan kepala.
“Wah, enggak adil dong, buat orang-orang yang sebenarnya bisa di posisi itu, tapi kemampuan akademiknya jadi penghalang. Ternyata bener, ya, mulai ada pembatasan aktivis dengan cara meninggikan standar akademis. Ya, biar kayak begini. Mau enggak mau mahasiswa kudu rajin belajar, biar bungkam!”
Aku tersentak hingga menghentikan jalanku untuk kedua kalinya. Itu pemikiranku sejak selesai aksi kemarin yang kenyataannya BEM Universitas terlalu tunduk pada birokrasi hingga tidak bisa membelaku dan malah menganggapku sebagai provokator. “Lo sejak kapan jadi tertarik bahas soal beginian?” Alisku hampir menyatu karena benar-benar baru kali ini Ryo membicarakan soal isu politik di kalangan mahasiswa.
“Yaa … sejak lama, sih. Cuma gue milih jadi pendiem aja, Jav.”
Aku memukul lengannya keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIP SALAM ( TAMAT ✅)
Teen FictionApa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javit...