Sampai Senin pagi, Papa belum juga pulang ke rumah. Kurasa suasana rumah jauh lebih damai ketika hari Minggu kemarin. Hampir seharian aku mengobrol dengan Mama, membicarakan apa saja, walau awalnya terasa canggung. Mama juga berkali-kali meyakinkanku bahwa dirinya tidak apa-apa jika sendirian di rumah dan aku terpaksa kembali ke kos karena ada jadwal kuliah siang.
June tidak ada kamar, melainkan di kamar Wita hingga aku akan berangkat ke kampus. June juga tidak mengajakku bicara sama sekali. Ini tidak benar, bukankah seharusnya June segera minta maaf karena tiba-tiba kemarin tidak datang?
“Kemarin Sabtu, gue telepon lo, kok enggak bisa, June? Kenapa enggak bilang kalau enggak bisa ikut ke Java Jazz?” tanyaku saat aku sudah bersiap ke kampus dengan menenteng ransel di bahu, dan berdiri di ambang pintu kamar Wita.
Wita, Tiar, dan Aya yang kebetulan juga berada di dekat June, sontak memandang kami bergantian.
“Kalian ke Java Jazz kok enggak ajak-ajak, sih, cuy?” Aya yang memang hobi menonton konser merasa ditinggalkan.
“Iya, nih. Nonton rame-rame, kan, seru!” sahut Tiar yang ikutan cemberut.
Wita yang tengah menyetrika hanya mendengarkan percakapan kami dan tidak ikut menimpali, toh dia juga tidak terlalu suka menonton acara live music.
“Kenapa mesti bilang ke lo? Yang ngajak gue ke sana, kan, bukan lo, Jav.” Kali ini June berkata dengan nada sinis.
Deg!
Aku terkejut. Ternyata June tahu. “Jadi … lo udah tahu?”
“Ini gimana, sih? Katanya Javitri ngajak June, tapi kata June bukan Javitri yang ngajak.” Tiar menginterupsi percakapanku dengan June.
“Jadi, sebenarnya siapa ngajak siapa, sih?” Aya masih memandangi kami berdua bergantian.
June beranjak dari kursi rias setelah selesai menyapukan lipgloss ke bibirnya, kemudian keluar kamar tanpa menghiraukanku.
“Lo sebenernya dateng ke sana, kan, June? Kenapa enggak nyamperin dia?” berondongku tak sabar.
“Dia siapa, sih?” Wita tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya yang sejak tadi hanya memerhatikan kami.
“Gue enggak suka, ya, kalau lo pakai acara bohong-bohong ke gue!” seru June sembari menunjukku.
“Kalau gue enggak bohong, mau sampai kapan masalah lo sama Ryo kelar?” Aku berusaha menahan intonasi bicaraku, sayangnya aku terpancing juga menggunakan nada tinggi.
“Itu urusan gue, bukan urusan lo! Berhenti ikut campur sama urusan gue mulai sekarang!”
“Tapi itu enggak adil buat Ryo, dia cuma butuh waktu buat ngomong dan selesaikan ini baik-baik sama lo, June! Jangan egois!”
“Egois? Lo itu yang egois, Jav! Lo sengaja, kan, sok bantu dia padahal mau deket sama dia? Jangan-jangan lo juga yang nawarin cowok-cowok itu titip-titip salam ke kita, biar lo deket sama mereka?”
Ucapan June terlalu menyakitkan buatku. “Lo kalau ngomong mending dipikir dulu, deh! Enggak asal bunyi aja! Iya, gue tahu lo paling cantik, tapi buat apa jadi yang tercantik kalau sikap lo minus, hah!” Aku kehabisan napas, kerongkonganku sakit karena berteriak dan menahan tangis. Ini pertengkaran terbesarku dengan June, dan amarahku rasanya meluap hingga ke kepala dan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIP SALAM ( TAMAT ✅)
Novela JuvenilApa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javit...