Chapter 25 - Popcorn dengan Lelehan Mentega

159 12 0
                                    

              To : June

               [Mau nonton Java Jazz sama gue?]

               [Gue ada dua tiket, nih]

               Akhirnya pesan itu kukirim juga pada June. Dengan cemas, aku menanti balasannya. Mengapa aku tidak mengajaknya secara langsung? Jelas, aku tidak seberani itu, dan aku bukanlah pembohong kelas atas, karena orang yang mengenalku dekat akan mudah membacanya melalui raut wajah yang kutunjukkan saat bicara.

              

               From : June

               [Kapan?]

               To : June

               [Besok Sabtu malem di JI Expo]

               [Ketemuan di sana]

               From : June

               [Kenapa enggak berangkat bareng aja?]

               To : June

               [Gue berangkat dari rumah]

               [Please?]

               From : June

               [Oke]

               [Besok gue kabarin]

               June meng-oke ajakanku, artinya rencana Ryo berhasil. Sayangnya, aku tidak sesenang itu. Ya, mereka berdua akhirnya akan bertemu, berbicara, menyelesaikan masalah, dan mungkin saja keduanya jadi dekat lagi seperti dulu.

               Karena aku mengatakan akan berangkat dari rumah, mau tidak mau aku benar-benar harus pulang ke rumah malam ini. Aku berharap Papa tidak di rumah, seperti minggu-minggu sebelumnya yang hanya mengecek keberadaanku melalui Mama. Sejak aksi waktu itu, aku memang menjadi penurut, dan ke mana-mana di bawah pengawasan orang tuaku. Apalagi tanpa motor, membuat ruang gerakku makin terbatas jika tidak ingin uang jajan habis hanya untuk membayar ojek online berkali-kali.

               “Gimana kuliahnya?” tanya Papa yang tengah membaca koran di teras dengan suara berat begitu aku membuka pagar rumah. Sungguh penyambutan yang memukau.

               “Ya, gitu aja, Pa. Lancar.” Aku menjawab dengan malas.

               “Papa sudah terima pemberitahuan hasil semester tigamu kemarin. Apa-apaan itu, IPK 2.2! Kamu enggak malu sama teman-temanmu?” Intonasi bicara Papa meninggi.

               “Ya, makanya Papa izinin aku bawa motor lagi, ngekos tanpa harus pulang tiap minggu!” Akhirnya tersulut juga kemarahanku.

               “Itu lagi yang dibahas? Enggak ada manfaatnya bawa kendaraan pribadi atau mobil, sekali pun seperti kakakmu dulu, ujung-ujungnya apa? Kebut-kebutan di jalan, kecelakaan! Kamu juga mau berakhir kayak kakakmu, hah? Mati sia-sia?”

               Hatiku rasanya terbelah, lalu lukanya yang menganga lebar diberi tetesan jeruk masam. Perih. “Pa! Bisa berhenti ngomongin Mas Januar kayak gitu? Papa sama sekali enggak pantas disebut orang tua!” teriakku, lalu berjalan masuk, sekilas kulihat foto keluarga kami di ruang tamu. Berempat dengan senyum lebar seolah kami adalah keluarga yang saling menyayangi. Aku membuang napas kasar lalu menuju kamar dan membanting pintunya dengan keras.

TITIP SALAM ( TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang