Chapter 21 - Aya The Lucky Girl

167 10 0
                                    

   Menjelang akhir kepengurusan BEM, aku justru tidak pernah mengunjungi sekretariat BEM sama sekali. Tiap Bang Dito mengadakan rapat untuk menyusun LPJ Kementerian Sosial Politik, aku selalu beralasan tidak bisa hadir dan meminta dia untuk mengirim tugasku melalui e-mail saja. Aku tiba-tiba menjadi mahasiswa rajin kuliah walau di dalam kelas aku memilih bangku pojokan sembari membaca buku karya Pramoedya.

    Aku juga berusaha menjauhi Ryo karena sejak pertandingan final basket waktu itu, aku merasa aneh. Aku bisa tiba-tiba senang ketika Ryo mengajakku bicara, tapi aku bisa sangat kesal ketika dia menanyakan kabar June saja, jadi aku memutuskan untuk mengurangi intensitas kebersamaanku dengan dia. Dari pada aku senyum-senyum atau marah-marah tidak jelas hanya karena cara Ryo memperlakukanku.

    Siang ini, ketika aku baru selesai kelas, tiba-tiba Aya menghampiriku. “Cuy, temani gue dong!” pinta Aya seraya bergelayut di lenganku.

    “Ke mana?” tanyaku tidak acuh. Aku hanya ingin pulang ke kos dan tidur.

    “Gue ada lomba debat, nih, di Aula Kartini jam empat sore. Males kalau berangkat sendiri, lo nonton, ya.”

    “Lomba debat apaan? Fakultas?”

    Aya menggelengkan kepala. “UKM, English Study Club.”

    “Antaruniversitas?” Aku mengerutkan dahi.

    “Bukan. Antartim di UKM.”

    “Ih, ogah. Kan, itu isinya anak UKM lo semua.” Aku mempercepat langkah keluar gedung.

    “Enggak, untuk umum kok. Temani gue ya, please?” bujuk Aya.

    “Ya, terus gue ngapain di sana?”

    “Duduk aja di pojokan, lihat Youtube kek, atau baca buku.”

    Aku menghela napas. Aya kalau ada maunya, pasti akan dikejar sampai dapat. Termasuk jika aku menolak ajakannya ini, bisa dipastikan dia akan terus mengganggu dan memohon sampai aku benar-benar pulang. Dan, apabila aku tetap pada pendirianku untuk menolak, Aya bisa tidak mengajakku bicara tiga hari tiga malam.

    “Gue traktir makan siang, deh. Terserah lo mau makan apa aja!” Aya masih berusaha membobol pertahananku.

    “Ya, udah, deh. Ayo ke kantin!” Aku memutar langkah, menuju arah berlawan untuk ke kantin. Pertahananku jebol hanya karena kata ‘traktir’.

    “Yes!” Aya menyejajarkan langkahnya denganku dengan senyum lebar.

    Aku baru tahu kalau Aya sedang menghindari seorang laki-laki di UKM-nya. Dari sapaan singkat sebelum masuk aula, mahasiswa yang tidak aku tahu jurusannya itu menanyakan alasan Aya menolak berangkat ke aula bersama. Aya yang sok cuek—padahal biasanya jadi yang paling ramah di antara penghuni kos—hanya menjawab dia ada janji denganku sebelum dan sesudah acara sore ini.

    “Cakep, tuh,” bisikku pada Aya yang duduk di sampingku. Aku memilih duduk di bangku paling belakang, tapi juga paling atas karena Aula Kartini memiliki bentuk bangunan seperti bioskop.

    Aya sontak membelalakkan mata di depanku seolah mengatakan ‘yang bener aja?’. “Gue lagi deket sama cowok yang lain, cuy,” akunya.

    “Oh, ya? Lo kok enggak pernah cerita?”

    “Takut kalian godain kalau dia jemput ke kos.”

    “Idih! Emangnya kita cewek tukang goda apa? Tukang gado camilan, baru iya,” cibirku. “Siapa yang lagi deket sama lo? Anak UKM sini juga?”

    “Rahasia.” Aya menjulurkan lidah.

    Aku hanya memukul lengannya. Kemudian seorang laki-laki tinggi, berwajah oriental dengan rambut cepak mulai membuka acara.

TITIP SALAM ( TAMAT ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang