Rambut sepunggungku tersibak oleh angin. Dress selutut berwarna latte yang kupadukan dengan heels tiga sentimeter berwarna hitam yang kukenakan ini sepertinya cukup menarik perhatian beberapa orang. Aku sejak tadi celingukan seraya memerhatikan jalan karena kesulitan membawa empat buket bunga.
"Duh, mereka di mana, sih?" gumamku pelan. Keringat-keringat kecil sepertinya sudah memenuhi dahiku sekarang. Matahari sedang terik-teriknya, sedangkan aku berada di luar gedung mencari empat orang yang belum bisa kutemui sejak tadi.
BRUKK!
"Eh, maaf. Saya enggak kelihatan, ketutupan buket bunga," ucapku buru-buru.
"Lah, Javitri?" Jari telunjuknya mengarah padaku dengan tatapan heran.
Aku sontak mendongak. Seorang laki-laki berambut gondrong berdiri di hadapanku. Wajahnya mirip preman, tapi aku masih mengenalinya. "Agus? Gusi?" Aku membelalakkan mata.
"Iya." Dia mengangguk bersemangat. "Ya ampun, berapa tahun kita enggak ketemu. Lo udah berubah aja," kata Agus sambil melihatku dari bawah ke atas.
Aku tertawa. "Lo juga berubah, Gus. Makin sangar."
"Biasalah, mahasiswa akhir, enggak sempat ngapa-ngapain. Eh, ujung-ujungnya telat wisuda juga."
"Ih, dari pada gue masih semester lima."
"Gusi! Lo tuh, ya, dicari ke mana-mana juga! Itu, arak-arakan wisudawan jurusan kita udah nyampe. Lo cepetan nyalain petasan di depan."
Aku senyum-senyum melihat orang di samping Agus sekarang. Ini seperti de javu.
"Sstt, diem dulu kenapa. Lo enggak liat gue lagi ngobrol sama cewek cantik." Agus menunjukku.
"Si-" Orang yang memanggil Agus barusan ikut melotot, persis seperti yang dilakukan Agus beberapa detik lalu. "Javitri?" teriaknya sampai beberapa orang tua wisudawan melihat ke arah kami.
"Dioon ...." seruku senang seraya mengentak-entakkan kaki seakan aku lupa sedang menggunakan heels.
"Lo apa kabar, Jav? Buset, gini, ya, sekarang sejak jadi mahasiswa sastra." Dion mengulurkan tangannya, dan kusambut dengan kesusahan.
"Gue bilang juga apa, lagi ngobrol sama cewek cantik," timpal Agus.
Aku tidak tersipu sama sekali, karena aku sudah pernah berada di antara mereka dan tidak dianggap sebagai perempuan. "Gue kira lo juga wisuda, Yon?"
"Enggak, gue nemenin ini, nih. Katanya biar sekalian lima tahun kuliahnya." Dion melirik Agus sambil mencibir.
"Iya, lah. Nanggung banget empat setengah tahun, setengah tahunnya enggak tahu mau ngapain" sahut Agus membela diri.
Aku tertawa mendengar celetukan mereka. Ini yang kurindukan sejak lama.
"Udah, deh, nanti disambung lagi ngobrolnya. Mereka dateng, tuh," kata Dion sambil menunjuk gedung depan jurusan.
"Gue ikut kalian aja, ya." Lalu aku mengekor di belakang mereka yang bersiap memberi penyambutan untuk para wisudawan yang baru selesai acara pengukuhan di gedung pusat bersama Rektor dan Dekanat.
Hari ini, June, Aya, Tiar, dan Wita menjadi salah satu wisudawan dan resmi menyandang gelar Sarjana Teknik. Aku yang diberi kabar oleh mereka tentu saja senang bukan main.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIP SALAM ( TAMAT ✅)
Roman pour AdolescentsApa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javit...