Surat dari Bayu

27 12 1
                                    

Pertengkaranku dengan Bayu cukup hebat. Tidak, lebih tepatnya aku yang terus mencerca dirinya dengan berbagai kalimat menusuk, seolah aku tidak pernah belajar tentang adab.

Kulihat saat itu Bayu ingin mengatakan sesuatu, namun tak aku hiraukan. Aku langsung pergi meninggalkannya, dengan amarah yang masih menetap dalam diriku.

Tak berselang lama, aku dengar kabar dari warga sekitar, bahwa pukul 4 sore, Bayu akan dieksekusi oleh warga. Entah apa maksudnya, tapi bukan ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin mengetahui yang sebenarnya, tanpa ada kekerasan. Bahkan, mereka tidak punya bukti bahwa Bayu adalah dalang penculikan anak.

BENAR..

DENGAN BODOHNYA SAAT ITU AKU LANGSUNG PERCAYA DENGAN RUMOR INI.

"Kuharap aku masih punya waktu untuk meminta maaf pada Bayu. Maafkan mulutku yang saat itu berbicara seolah tidak punya adab," batinku.

Kukira, aku masih punya waktu untuk meminta maaf atas kesalahanku. Ternyata dugaanku salah.

Mata kami sempat bertatapan. Tak pernah ku sangka bahwa saat itu, saat aku berbicara selayaknya orang yang tak mengerti sopan santun adalah kali terakhir aku bisa berbicara dengannya. Sesaat setelah mata kami saling menatap, kulihat seorang lelaki bertubuh besar menghantam kepala Bayu dengan sebuah balok, menghantam tubuh yang sepertinya sudah dipukuli oleh warga dengan berbalut amarah.

AYAH, IBU..

MAAF KARENA AKU YANG TERLAHIR DARI RAHIMMU.

MAAFKAN AKU YANG TERLAHIR KE DUNIA INI.

MAAF KARENA ANAKMU INI MENJADI SALAH SATU PENYEBAB LUKA BAGI ORANG TAK BERDOSA.

Aku kira, aku adalah orang yang baik karena selalu mendengar keluh kesahnya tentang orang-orang yang tak berperasaan, namun nyatanya, sebelum ia menjemput ajalnya, aku malah turut serta menjadi bagian dari orang-orang tak berperasaan itu.

Tubuhku terbujur kaku melihat Bayu yang sudah tergeletak di atas tanah dengan bersimbah darah di sekitar kepalanya. Rasanya sangat sakit, sakit karena melihat orang yang kusuka dalam diam, berpulang dengan cara tidak layak, bahkan tidak mendapat keadilan, lelaki itu menjemput ajalnya dengan membawa rasa sakit atas perkataan dan perlakuan buruk padanya. Di sisi lain, hatiku juga sakit karena turut serta menyakiti hatinya dengan perkataanku, mulutku ini menyakiti hatinya sesaat sebelum ia menjemput ajalnya.

Entah apa yang warga sekitar pikirkan, entah masih berbalut amarah atau hanya ikut-ikutan, kulihat tubuh Bayu yang sudah tidak bernafas diinjak-injak oleh warga. Segera aku berlari menghampiri tubuhnya yang tinggi besar itu, kuraih tubuhnya yang terkapar di atas tanah, tak peduli seberapa banyak warga yang mengerumuni dan menginjak Bayu, aku hanya ingin segera memeluknya, memeluk raga yang jiwanya sudah tak ada di sini. Kupeluk tubuhnya yang penuh luka memar, aku menangis sejadi-jadinya, berulang kali aku meminta maaf atas mulut sampahku ini, aku terus mengucap maaf seolah ia bisa mendengarku. Aku terus memikirkan apakah aku bisa memutar waktu sekali saja, walaupun aku tau itu mustahil, yang kuinginkan sekarang hanyalah meminta maaf padanya, aku ingin meminta maaf pada dirinya yang masih hidup, agar dia tau, agar dia bisa mendengar dari mulutku sendiri bahwa aku menyesal atas perkataanku, aku juga ingin agar dia bisa mendengar bahwa aku, aku telah lama menyukainya.

"Kau pernah bertanya padaku bukan? Saat bermain di dekat danau, kau bertanya padaku apakah masih ada di dunia ini yang menyayangimu dengan tulus? Ada, Bayu. Orang yang mencintaimu ada di dunia ini, aku menyayangimu," perkataan ini terus kuulang, berharap ia bisa mendengarnya.

Pernah kudengar pepatah bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Tapi, tolong, aku tidak sanggup dengan penyesalan seberat ini.

Kulihat Bayu menggenggam sebuah surat, surat yang sepertinya sangat ia jaga, surat berbalut amplop putih yang sekarang berubah menjadi warna merah. Kuraih surat itu, aku berusaha mencermati isinya dengan nafasku yang tidak beraturan dan air mata yang masih menetes. Kubaca kata demi kata, sembari membayangkan suara khas dirinya. Di akhir kalimat, kulihat sebuah rangkaian kata yang begitu menusuk hati, kalimat itu menusuk hatiku karena kini aku tau, aku adalah wanita bodoh yang tidak pantas mendapatkan cinta lelaki sebaik Bayu.

 Di akhir kalimat, kulihat sebuah rangkaian kata yang begitu menusuk hati, kalimat itu menusuk hatiku karena kini aku tau, aku adalah wanita bodoh yang tidak pantas mendapatkan cinta lelaki sebaik Bayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ruang BerdebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang