Wira Wiguna

14 1 0
                                    

Aku ingat baru saja aku membaringkan tubuh ini di kasur. Apakah ini mimpi? Semoga saja ini benar-benar hanya sebuah mimpi.

Hal pertama yang kulihat di sini adalah koran usang tahun 1950.

Berarti, aku bermimpi masa lalu? Benar kata Mas Surya, seharusnya jangan terlalu kupikirkan. Namun anehnya, koran ini kudapatkan di atas meja makan, apakah aku sedang ada di rumah seseorang? Rumah siapa?

Kudegar setapak demi setapak seseorang berjalan ke arah sini, kualihkan pandanganku ke arah pintu, seorang anak laki-laki dengan tubuh kurus berjalan seraya menenteng kantong kresek berisi sepatu, sepertinya di luar sedang hujan. Anak itu terlihat kelelahan, namun tetap memberikan tatapan teduh dan menyunggingkan senyum manisnya.

"Ibu, Wira pulang. Hari ini kita makan apa?"

"Nasi sama kecap manis lagi, gapapa, kan? Maafin ibu, ya."

"Gapapa, toh itu juga bisa dimakan kok, Wira ganti baju dulu, ya."

Kuperhatikan anak itu seperti sedang mencari sebuah barang, mengacak-acak laci miliknya, sepertinya barang yang ia cari ditaruh paling dalam.

"Nah ini dia, jangan sampai Ibu baca buku harian milikku."

Anak itu mulai menuangkan isi kepalanya ke atas kertas, aku penasaran dengan apa yang ia tulis, namun terhalang oleh kepalanya.

Ibu.. apakah kelahiran Wira adalah sebuah anugerah atau malah menjadi beban? Wira kepikiran, Bu. Dari cerita Ibu beberapa hari lalu, dulu Ibu adalah orang berada, bisa makan enak, gak perlu mikir biaya apa pun, yang ibu mau pasti disediakan. Tapi, sekarang roda berputar 180 derajat. Wira kepikiran, Bu, Wira sudah terbiasa karena sedari kecil hidup Wira memang seperti ini, sedangkan Ibu, Ibu adalah orang kaya yang sekarang nasibnya berbanding terbalik, apa Ibu terbiasa dengan situasi seperti ini? Ibu pasti kangen hidup mapan, ya? Maaf, ya, Bu. Tolong doakan Wira selalu, Wira akan berusaha, agar kelak Ibu bisa merasakan hidup mapan lagi.

Tertanda,
Wira Wiguna

Aku termenung sejenak melihat nama itu, seperti pernah mendengarnya. Kupicingkan mataku, mencoba mengingat siapa yang memiliki nama belakang sama dengan orang ini.

"Bayu! Iya, itu nama belakang Bayu, Bayu Wiguna," ucapku sembari melompat kegirangan. Namun, rasa senang itu membuatku tak sengaja menyenggol barang milik Wira hingga terjatuh.

"Loh? Kok jatuh sendiri? Aneh banget."

Reaksinya.. datar sekali, aku kira dia akan ketakutan melihat barangnya jatuh sendiri, nyatanya tidak takut sama sekali. Aku merasa seperti jadi hantu, tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Namun, ini membuatku semakin leluasa, mudah bagiku jika aku ingin mencari informasi di sini, tidak akan ada yang menangkapku jika aku membuka lemari atau semacamnya.

Banyak sekali foto hitam putih yang ditempel di dinding kamar anak ini, sepertinya itu foto bersama keluarganya, melihat fotonya saja bisa membuatku membayangkan seberapa harmonis keluarga ini.

"Sri!"

Suara itu sontak membangunkanku yang terlelap dalam mimpi, sembari mengusap mataku, kulihat seseorang berdiri tepat di samping kasur. Kupastikan mataku ini tidak salah lihat.

"Maaf meninggikan suara, soalnya tadi kau kupanggil beberapa kali tetap tak kunjung bangun," ucapnya tidak enak hati.

"Ah iya, maaf karena telah merepotkan."

"Nggak apa-apa, aku akan kembali lagi ke sini untuk mengantarmu pada pemilik penginapan ini, nggak usah buru-buru, santai saja."

30 menit kugunakan untuk mandi dan berganti pakaian, setidaknya bukan wajah kusut yang kuperlihatkan. Tak berselang lama, lelaki itu mengetuk pintu dan mengantarku ke ruang makan khusus, di mana hanya ada aku dan pemilik penginapan ini. Wanita itu sangat cantik, sepertinya ia Belanda tulen sama seperti Ayah. Mata birunya yang tajam membuatku tidak berani menatap terlalu lama.

"Namamu Sri?" ucapnya menjadi awal perbincangan panjang kami.

"Benar. Nama saya Sri."

"Kalau begitu, kamu cucu saya. Tujuan kamu ke sini, ingin mengetahui lebih dalam tentang Ayahmu, kan? Sudah lama saya menunggu kalian datang menemui saya, namun kalian tak kunjung datang."

Pernyataannya membuatku bingung, karena Ayah bilang Nenek sudah lama tiada, dengan ragu aku mencoba melontarkan isi pikiranku, "Maaf, tapi Ayah bilang, Nenek sudah lama tiada, tertembak tentara Belanda."

Suasana semakin canggung, tak ada jawaban dari pertanyaanku, meskipun ia tak menjawab, aku bisa melihat raut sedih dari wajahnya yang masih cantik itu.

Ia kemudian tersenyum ke arahku, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja dengan pertanyaan itu.

"Katanya kamu ingin tahu tentang Ayahmu, kan? Mari, ikut saya ke gudang. Ada banyak hal yang ingin saya perlihatkan di sana."

Aku pun mengangguk dan mengikutinya ke gudang yang terletak di bawah tanah.

"Dulu, ini kamar anak-anak saya, anak kandung dan anak angkat saya. Saya sayang mereka, anak pertama sampai ketiga itu laki-laki, wataknya mirip sekali dengan Ayahnya, anak keempat perempuan, dia sangat mirip dengan saya, anehnya di antara mereka berempat ini, anak pertama yang paling manja. Saya rindu sekali dengan mereka, di pojok sana itu tempat kami sering bergurau, indah jika diingat. Di rak ini, isinya album keluarga kami semua, saya sangat suka mengabadikan sesuatu, agar nanti, jika kenangan ini tidak bisa diulang, saya bisa melihat dan mengingat seluruh peristiwa dari foto ini."

"Sekarang, anak-anak Ibu ke mana?"

Ia tersenyum kembali seraya menatapku sendu, "Di hati saya," jawabnya.

PRANG!

Seseorang mengacak-ngacak barang dan membuat kegaduhan. Kami kembali ke atas untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kulihat seorang wanita melempar barang yang ada di sana kemudian membenturkan kepalanya ke tembok sembari terus berteriak.

"Biar saya saja yang tangani, saya sudah biasa bertemu orang gila seperti ini di dekat rumah saya," tegasku menawarkan diri.

"Tidak usah, tidak apa-apa, dia anak saya."

Apa ini anak bungsu yang barusan ia ceritakan? Rasanya tidak enak hati, barusan kusebut wanita itu orang gila.

"Wira baik-baik saja, dia sudah tenang, tidak apa-apa, Ibu akan menjagamu seperti Wira. Surya, tolong ajak dia masuk ke kamarnya, ya."

Setelah kupastikan Surya sudah membawanya ke kamar, kutanyakan hal yang sedari tadi berkecamuk dalam pikiranku, "Maaf karena sudah menyebut anak Ibu gila, saya tak bermaksud menyakiti hati Ibu dan anak Ibu."

"Tidak apa-apa, kamu belum siap memanggilku Nenek, ya?" ucapnya sembari kembali melempar senyum ke arahku, "Sudah tahu tentang Wira sampai mana?" lanjutnya.

"Maaf, siapa Wira?"

"Ayahmu tidak pernah menceritakan padamu tentang keluarganya?" ucap wanita itu dengan tatapan bingung.

Aku menggelengkan kepala, belum pernah aku dengar Ayah bercerita tentang keluarganya, termasuk tentang Wira.

"Kala itu, dia anak dari pelayanan di rumah ini. Baik sekali, pekerja keras seperti ibunya, hingga akhirnya saya angkat dia menjadi anak saya. Penginapan ini lekat sekali dengan kisahnya, karena itu, saya yakin pasti semalam ia datang dalam mimpimu. Mungkin terdengar mustahil, tapi tempat ini seolah ikut menyuarakan keadilan dengan masuk dalam mimpi. Ayo, kita kembali ke gudang, ada yang ingin saya perlihatkan."

Ruang BerdebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang