Wira Wiguna (2)

16 1 0
                                    

"Buku ini saya temukan di meja makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Buku ini saya temukan di meja makan. Sebelum saya angkat dia menjadi anak, ia berteman dekat dengan anak-anak saya, mereka sering bermain di sini, menghabiskan waktu bersama. Saya kira buku harian ini adalah milik anak saya, namun setelah dibaca, dugaan saya salah. Halaman ini lah yang membuat saya mengangkat anak itu."

"Apa Ibu Wira tahu tentang buku ini?"

"Ia tahu, tapi pura-pura tidak tahu."

Bandung, 1951

Jalanan dipenuhi dengan pedagang asongan juga angkutan umum yang berlalu-lalang, masing-masing disibukkan dengan tugas mereka, ada pekerja, ada pelajar yang sibuk mengejar angkutan umum agar tidak mendapat hukuman karena terlambat, ada ibu rumah tangga yang sibuk dengan anak mereka, juga sekumpulan anak yang sibuk bermain di taman. Suasana di tempat ini begitu asri, hingga akhirnya timbul suatu masalah.

"Hei lain kali hati-hati kalau melempar koran! Kena wajah saya! Dasar pribumi!" ucap pria berdasi dengan alisnya yang mengkerut tak mampu menahan amarah. Sebutan 'pribumi' yang kerap kali diucapkan seolah mengatakan bahwa ia belum menerima kemerdekaan negara ini.

"Heh londo perusak! Kembali sana ke negaramu! Persediaan rempah-rempah untuk negaramu sudah tidak ada," balas perempuan paruh baya yang juga berada di sekitar sana.

Terlihat seorang anak laki-laki dengan seragam Sekolah Dasar yang masih sibuk menawarkan dagangan milik Ibunya, sedangkan 10 menit lagi waktu sudah menunjukkan pukul 7, itu artinya ia bisa saja terlambat. Ia menyusuri perjalanan sekitar 5 menit, namun terlambat, karena anak itu baru berangkat menuju sekolahnya pada pukul 07.10.

"Wira, tadi ibu dipanggil sama guru kamu. Katanya kamu terlambat, ya, Nak? Maafin Ibu, ya. Biar Ibu saja yang dagang, kamu fokus sekolah saja, ya."

"Wira tidak keberatan, Bu. Biar saja Wira bantu Ibu jualan, sebelumnya Wira tidak memperhatikan jam, jadi terlambat."

"Sebentar lagi kamu lulus, kalau kamu diasuh oleh Nyonya, kamu mau, ya? Sore nanti Nyonya datang ke sini."

Bayangkan saja bagaimana perasaannya saat itu, tiba-tiba harus berpisah dengan Ibunya karena masalah keuangan.

"Wira tidak mau, Bu! Wira mau di sini aja, tidak apa kalau harus putus sekolah, nanti Wira cari kerja, yang penting Wira terus sama Ibu."

"Ibu mau nikah lagi, Wira. Rumah ini mau Ibu jual."

"Kalau gitu bawa Wira ikut sama Ibu, kenalin Wira sama calon suami Ibu yang baru dan keluarganya. Wira cuma punya Ibu di sini."

Di tengah perdebatan itu, klakson mobil menyapa Wira dan Ibunya, pertanda buruk yang mengartikan bahwa sudah saatnya Wira pergi.

"Bu? Ibu tolong jangan gini. Nanti Wira cari kerja."

"Sekolah yang pinter, ya, Nak. Kamu mau jadi dokter, kan? Wujudkan. Demi Ibu sama Ayah. Nanti Ibu akan sering berkunjung ke sana. Ibu mau nikah lagi, keluarga mereka gak mau nerima anak tiri. Ibu juga sudah tidak kerja lagi di rumah Nyonya."

"Wira anak Ibu, loh. Ibu mau ninggalin Wira untuk mereka?"

Hampir 1 jam dua orang itu beradu pikiran, hingga salah satunya memutuskan untuk pergi, kepalang kesal karena mengira Ibunya lebih memilih calon suami barunya, akhirnya Wira memilih untuk ikut pergi dengan keluarga mantan Majikan Ibunya, anak itu pergi dengan emosi yang terus berpadu. Hampa, beberapa saat ia sulit untuk berpikir jernih, satu-satunya harapan anak itu pergi, pergi meninggalkan dirinya di usia 12 tahun yang bahkan alasannya saja masih sulit untuk ia mengerti.

Di dalam mobil jadul itu, Wira mulai menyapa teman-temannya yang kini berubah status menjadi 'keluarga'. Canda tawa terukir jelas di wajah lugu mereka, begitu juga dengan Wira yang mencoba melupakan  perdebatan dengan Ibunya barusan. Ruang dan waktu terus berjalan, seolah tak pernah merasa lelah, matahari dan bulan turut serta berganti posisi mengiringi suka dan duka.

- Flashback off -

Ruang BerdebuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang