Berlian dan Edgar kini berada dalam satu mobil. Katanya, cowok itu akan mengantarkannya ke tempat awal pertemuan mereka. Entahlah Kemana, Berlian tidak tau.
Dia hanya diam sejak Edgar mengemudi, hanya memandang keluar jendela. Terus memikirkan bagaimana keadaan Geswa dan Lesya adiknya. Adiknya yang masih berumur tiga belas tahun, memiliki penyakit yang mengharuskannya check-up setiap satu kali dalam seminggu. Kesehatan adiknya kurang baik, dia selalu lemas karena imun tubuhnya yang lemah. Bundanya dirumah pasti kerepotan mengurus Lesya sendirian.
"Memikirkan apa, sayang?" Suara Geswa tidak membuat pandangannya keluar jendela teralihkan. Berlian tidak ingin menatap wajah pria di sampingnya.
"Aku ingin pulang," itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Geswa melirik singkat Berlian, tatapannya datar.
"Hey, aku disini." Tangan kekar Geswa mengusap lembut pipi Berlian. "Kamu akan bahagia bersamaku, Berlian. Untuk apa menginginkan pulang?"
Berlian tidak menjawab, percuma saja dia meminta. Geswa tidak akan mengabulkannya. Pria itu kembali fokus menyetir, kini mobilnya memasuki halaman mansion yang amat megah. Banyak pria mengenakan jass hitam yang berjaga disana. Mobil mewah pun berjejer rapih di samping mansion itu.
Berlian melongo, dia merasa seperti tidak asing dengan tempat ini. Tapi tidak mungkin dia pernah memasuki mansion sebesar ini. Mansion bercat putih dengan atap berwarna hitam mewah.
"Silahkan, baby," Edgar tiba-tiba saja sudah membukakan pintu mobil, mengulurkan tangan kekarnya itu agar diraih oleh Berlian. Berlian tak dapat menolak karena tatapan Edgar sangat intens tertuju padanya.
Dia pun turun dari mobil cowok itu, dengan tangan yang bergenggaman dengan Edgar. Berjalan mendekati mansion bercat putih elegan itu.
"Kau ingat tempat ini?" Tanya Edgar saat sudah dihadapan mansion.
Berlian mengerutkan dahinya. Memanglah tempat ini serasa tidak asing baginya, tapi dia tidak ingat.
"Kamu pernah tinggal disini saat usiamu masih lima tahun." Jelas Edgar.
"Hah? Untuk apa aku kesini?" Tanya Berlian penasaran.
Edgar mengulurkan tangannya merangkul pinggang Berlian. Membuat gadis itu sedikit tersentak.
"Nama ibumu, Ladia kan?" Tanya pria itu.
"Bagaimana kau tahu?" Berlian bertanya sedikit menampilkan raut marah. Dia merasa aneh dengan Edgar, kenapa dia bisa tau semuanya.
"Dulu ibumu bekerja disini sebagai asisten rumah tangga," Edgar mulai menjelaskan. "Saat itu usiamu masih lima tahun, kau masih kecil, lucu dan juga lugu. Berbeda dengan sekarang yang sudah bisa memberontak."
Berlian mendengarnya dengan seksama, pantas saja dia merasa tidak asing dengan mansion ini. Rupanya memang benar jika ia pernah menginjakkan kakinya disini.
"Aku inget, tapi tidak terlalu ingat juga," katanya tidak jelas. Edgar yang mendengarnya sedikit berkekeh.
"Apa maksudmu ingat, tapi tidak terlalu ingat. Ayo masuk," tangan kekar itu lagi-lagi menggandeng telapak tangan Berlian yang sedikit dingin.
"Dingin, kau sakit?" Tanya Edgar setelah menyentuh gadis itu.
Berlian menggeleng. "Tidak, ini hanya karena terkena angin saja." Ucapnya sedikit cuek. Sejujurnya, raganya disana namun pikirannya kemana-mana. Berlian terus memikirkan Geswa.
"Bohong, saya akan panggilkan dokter." Edgar merogoh ponsel di sakunya.
Berlian melotot dan langsung mencekal lengan Edgar. "Tidak usah, aku aku tidak kenapa-napa. Jangan berlebihan," Rautnya berubah menjadi merengut. Berlian merasa kesal dengan reaksi Edgar yang menurutnya berlebihan.
"Tidak ada kata berlebihan jika itu menyangkut kamu, Berlian." Edgar mengelus lembut tangan Berlian yang dingin itu.
"Tapi sungguh, aku tidak apa-apa. Tidak usah memanggil dokter."
Edgar mengangguk. "Baiklah," setelah itu dia mengetik sesuatu pada ponselnya. Berlian menghembuskan napas lega.
"Sekarang ayo masuk kedalam," Berlian mengangguk, tangannya digenggam lagi oleh Edgar. Dua orang pria berjaga di samping pintu yang besar itu. Mereka membukanya, mempersilahkan tuannya masuk dengan membungkukkan badan sembilan puluh derajat hormat.
Berlian memandang kagum isi dalam mansion, sangat megah. Ingatannya muncul sedikit tentang tigabelas tahun yang lalu. Dimana dia memang berada di mansion yang dia injak sekarang ini. Memang banyak yang berubah didalamnya, tapi tidak banyak dan Berlian masih mengingatnya.
Saat usianya lima tahun, dia memasuki mansion ini bersama Ladia. Saat itu ayahnya baru saja wafat karena penyakit jantung yang menyerangnya. Ladia yang kesusahan mencari pekerjaan akhirnya memutuskan menjadi asisten rumah tangga. Dan dia di ambil oleh tuan Erlan Young Evander, pemilik mansion sekaligus ayah dari Edgar Luis Evander.
Ada sekitar lima asisten rumah tangga di mansion Evander saat itu. Berlian cukup akrab dengan pekerja lainnya disana. Dia dikenal dengan anak yang lucu, ceria dan menggemaskan. Walaupun saat itu dia masih kecil, tetapi Berlian adalah anak yang berani dan bisa menyesuaikan dengan sekelilingnya.
"Kau mengingat tempat ini?" Edgar membuka suara memecahkan lamunan Berlian. Gadis itu mengangguk dengan senyuman tipis.
"Iya, aku ingat. Aku dulu memginjakan kakiku bersama bunda." Edgar mengangguk dan tersenyum mendengarnya.
Dua wanita berpakaian asisten rumah tangga menghampiri Edgar dan membungkuk hormat. Usia keduanya terbilang masih muda, terlihat masih se usia Edgar.
"Ada yang bisa kami bantu, tuan?" Salah satu dari mereka bertanya, wanita berambut pendek sebahu. Ia melirik kesamping tuannya, tatapannya bertemu dengan Berlian. Wanita itu menyipitkan mata dan memutar bola matanya malas, seperti tidak suka akan kehadiran Berlian disana.
"Antar gadisku ke kamarnya, beri dia pakaian terbaik dan termahal yang sudah aku siapkan." Edgar berkata kepada pelayan wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya pada Berlian.
Kedua pelayan itu mengangguk dengan wajah yang masih ketara malas, mereka menampilkan raut itu tanpa sepengetahuan Edgar.
"Baik tuan, Mari Berlian," dia menuntun Berlian untuk berjalan lebih depan, mengarahkan kemana kamar yang dikatakan Edgar tadi. Tepatnya berada di lantai dua mansion tersebut, bersebelahan dengan kamar Edgar.
"Silahkan masuk," ucap wanita yang satunya, berambut cokelat dan dikuncir kuda. Umurnya pun sama dengan wanita berambut pendek.
Berlian mengangguk, dia masuk kedalam kamar dengan pintu bercat cream itu. Didalam sana, sangat berbanding balik dengan kamar yang ada di rumahnya. Kamar ini sangat besar. Violet berwarna pink elegan terpampang disana dengan berbagai alat make-up di atasnya.
Tempat tidurnya begitu cantik, lemari besar dengan banyaknya pakaian wanita juga ada disana. Seperti memang pria itu sudah menyiapkannya jauh-jauh hari sebelum mereka bertemu.
"Ini pakaian yang disiapkan tuan, pakailah," wanita rambut coklat itu memberikan gaun lengan pendek sebatas lutut yang berwarna navy. Berlian menganggukinya dan menerima itu.
"Kami akan keluar, panggil saja jika kau membutuhkan sesuatu," lagi-lagi wanita rambut cokelat yang berbicara. Sedangkan wanita berambut pendek hanya diam dengan ekspresi datarnya.
"Terimakasih,"
Setelah Berlian mengatakan itu, mereka berjalan keluar. Berlian bisa mendengar keduanya berbisik kecil.
"Diakah yang sering dibicarakan oleh tuan Edgar?" Tanya wanita berambut pendek.
"Sepertinya, kau tidak lihat dia diperlakukan sangat spesial oleh tuan." Jawab si rambut cokelat.
Wanita rambut pendek terdengar menghembuskan napas kesal. "aku tidak menyukainya."
Setelah mengatakan itu, keduanya menghilang dibalik pintu. Berlian yang mendengarnys hanya melongo.
"Aku tidak mau dengan tuan kalian itu. Jika saja tidak dipaksa, aku tidak akan mau. Ambil saja tuan kalian,"
Dengan menggerutu, Berlian tetap mengganti pakaiannya yang semula memakai kaos santai milik Edgar saat pria itu memberikan di apartemen. Kini dia ganti menjadi gaun yang diberikan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDGAR - Cruel Dark Side
RandomBerlian tidak pernah menyangka jika hidupnya akan berubah 180 derajat sejak ia dipertemukan dengan laki-laki kejam dan menjadi pengontrol hidupnya yang bernama Edgar. Laki-laki dengan sejuta teka-teki yang selalu membuatnya bingung. Sejak hari perta...