Chapter 5

50 2 0
                                    

Gadis berambut panjang yang mengenakan gaun navy itu keluar dari kamar, dia berjalan menuruni satu persatu anak tangga dengan dua pelayan wanita yang setia mengekor dibelakangnya dengan wajah yang tertekuk.

Mata Berlian langsung menangkap banyaknya orang di ruang keluarga mansion itu.

Ada wanita berambut pendek elegan, dengan heels hitam mengkilat. Disampingnya ada laki-laki berjas hitam dengan celana senada, terlihat sangat rapih nan berwibawa. Berlian melihat wajah kedua orang itu yang sangat mirip dengan Edgar.

Di hadapan kedua orang tadi, ada seorang lelaki berambut ikal yang juga mengenakan jass. Berhidung mancung dengan alis tebal, laki-laki itu juga terlihat mirip dengan Edgar namun wajah Edgar memang lebih tegas.

Rapih, tampan, bersanding dengan wanita disampingnya yang mengenakan dress hitam selutut yang membentuk tubuhnya yang indah. tegas. Wanita itu pun terlihat menggendong anak kecil perempuan di pangkuannya yang masih berusia dua tahun.

Mereka semua yang berada dibawah sana menatap Berlian dengan senyuman hangat mereka saat gadis itu turun. Berlian yang melihat itu merasa panas dingin, ada apa ini?

"Selamat datang, Berlian." Pria ber jas hitam yang terlihat sudah setengah baya, menyambutnya saat sampai dibawah.

Gadis itu membalas tersenyum kepada semua orang dan menunduk singkat tanda hormat. Namun jauh didalam hatinya dia merasakan gemetar. Apakah mereka ini keluarga Edgar. Tapi dimana pria itu.

"Bagaimana, cantik bukan?"

Akhirnya yang Berlian tunggu datang, Edgar muncul dari arah pintu depan dan merangkul pundaknya. Membuat Berlian semakin merasa kikuk, apa apaan pria ini. Edgar merangkulnya tanpa rasa malu dihadapan seluruh keluarganya.

Merasa ini tidak pantas, Berlian tersenyum kikuk lagi. Dia berusaha bergerak perlahan menyingkirkan lengan Edgar yang bertengger di bahunya namun tenaga__bahkan lelaki itu tidak menggunakan tenaganya untuk merangkul Berlian. Pria itu hanya menempelkan saja lengannya yang kekar di bahu Berlian yang jauh lebih kecil, wajar bila Berlian merasa berat.

"Cantik, dan...mungil," wanita setengah baya yang menjawab. Mendengar itu Berlian sedikit tersipu.

"Tentu saja, pilihanku tidak pernah buruk. Hanya dia pilihanku satu-satunya. Sedari dulu." Edgar menjawab dengan penuh keyakinan sembari menatap Berlian dari samping. Yang ditatap hanya menunduk malu mendengar pernyataan lelaki itu.

"Kemarilah menantuku," mengulurkan tangan mempersilahkan untuk duduk disampingnya, wanita setengah baya itu tersenyum pada Berlian.

Menantu? Berlian menggeleng cepat.

"Tapi aku buk__"

"Duduklah sayang," Edgar memotong dengan tangan kekarnya mengusap pelan surai gadis itu. Mau tak mau, dengan kebingungan Berlian berjalan pelan ke arah sang wanita. Duduk disampingnya dan disambut senyuman hangat. Senyuman yang dimata Berlian adalah senyuman yang murni tanpa kepalsuan.

Wanita itu menyukai Berlian, juga merasa senang dengan kehadirannya disana. Berlian bisa merasakan energi orang-orang disana sangat positif. Tatapan mereka kepadanya tidak ada yang menandakan kebencian.

"Apa kabar sayang, kemana saja kau selama ini. Kasihan sekali sulung-ku itu terus mencarimu," wanita itu menunjuk Edgar dengan ekor matanya. Edgar kini telah duduk di ujung kursi. Disamping pria muda yang mirip dengan lelaki itu.

Berlian hanya diam, tentu saja dia tidak bisa menjawab. Semua ini terjadi begitu cepat, dia bahkan belum mengetahui siapa mereka ini.

"Dia pasti kebingungan, baiknya kita perkenalkan diri dahulu," melihat kebingungan diwajah Berlian, pria yang mirip dengan Edgar membuka suara, dia berkata kepada wanita setengah baya di sampingnya dan semua orang menganggukinya.

"Aku hampir lupa, terlalu senang aku melihatmu Berlian," ucap wanita disampingnya lagi. "Aku Luth, ibu dari Edgar dan Vander," dia menunjuk sopan ke arah pria yang Berlian lihat mirip Edgar itu. Pantas saja, ternyata mereka bersaudara.

"Vander adalah adik Edgar, pasti kau melihat mereka mirip bukan?" Berlian mengangguk canggung, Luth tahu saja. "Disamping Vander adalah istrinya Zeana dan cucu-ku Ryn." Dilihatnya Ryn dipangkuan Zeana, anak kecil itu terlihat menggemaskan dengan mata bulatnya dan bulu mata yang lentik. Tangannya bertepuk tangan pelan dan tersenyum ke arah Berlian.

"Disamping ku adalah Fargo, Ayah Edgar dan Vander." Berlian mengangguki dengan senyuman kikuk. "Kami sengaja berkumpul untuk melihat calon menantuku, Berlian. Kau sangat cantik, dan mungil tentu saja." Sambung Luth dan kekehan terdengar dari mulut wanita itu, semua yang ada disana pun ikut berkekeh. Memang benar kenyataan jika Berlian memiliki tubuh yang mungil. Gadis itu sangat imut, walaupun Edgar sudah memberikan dress dengan model dewasa, tetapi Berlian masih terlihat seperti anak SMP. Dia menggemaskan.

"Tinggal lah disini sayang, bersama Edgar." Pinta Luth, sontak Berlian terbelalak dan sedetik kemudian langsung menetralkan mimik wajahnya. Bagaimana bisa dia tinggal bersama pria yang bahkan bukan suaminya. Mereka baru saja bertemu, itu tidak pantas.

"Maaf, tetapi aku tidak bisa jika tinggal disini. Aku harus pulang dan menemui ibu juga adik-ku. Mereka pasti menungguku dirumah," Berlian mengatakannya dengan Berharap besar. Semoga mereka berbaik hati untuk membiarkannya pulang.

Terlihat raut Luth berubah sedih. "Hm, begitu? Tetapi kau akan sering berkunjung kan? Aku akan selalu menunggumu. Aku akan kesini, karena kami berbeda rumah."

"Berlian akan sering ku bawa kesini, aku berjanji Bu." Edgar yang menjawab pertanyaan ibunya.

"Apa tempat tinggalmu masih sama, Berlian?" Fargo bertanya. "Seperti tiga belas tahun yang lalu?" Sambungnya, dia mengingat alamat tempat tinggal Berlian juga ibunya, karena dia sendiri yang membawa Ladia dan Berlian saat wanita itu tengah mengandung dulu.

"Ya, kami masih tinggal di rumah itu. Seperti dulu." Berlian pun ingat, saat menaiki mobil menuju rumah Fargo, ada pria itu yang berada di samping kemudi, persis disamping sopirnya. Dia dan Ladia duduk di belakang dengan hanya membawa tas ransel miliknya dengan baju yang seadanya.

"Benarkah, tetapi beberapa tahun lalu, Edgar tidak menemukanmu di rumah itu." Kata Fargo lagi.

Kening Berlian mengkerut. "Dia mencariku?" Di angguki semua oeang yang ada disana kecuali Zeana.

"Kami memang sempat berpindah rumah, waktu itu jarak rumah dan rumah sakit cukup jauh. Jadi Bunda berinisiatif berpindah saja, adik-ku harus rutin chek-up." Semua mengamgguk faham, pantas saja. Kala itu Edgar benar-benar kacau karena tidak menemukan gadisnya di alamat yang diberikan Fargo.

"Tetapi kami kembali lagi ke rumah itu saat aku memasuki sekolah menengah atas." Sambung berlian lagi.

"Ternyata begitu, aku masih mengingat alamat rumah kalian dulu saat aku membawa kalian ke rumah ini. Memang lumayan jauh dari sini." Lanjut Fargo lagi.

"Tidak apa, jarak tidak menjadi masalah. Kakak-ku tentu tidak keberatan dengan itu." Lontar Vander yang sedari tadi diam, dia berkekeh kecil. Membuat Edgar juga ikut berkekeh.

"Tentu saja. Sejauh apapun jarak itu, tidak menjadikan masalah jika yang kita tuju adalah orang yang kita cintai." Mereka yang mendengar Edgar berkata, tersenyum.

Memang benar seperti itu kenyataannya. Mereka yang menganggap jarak jauh adalah sebuah masalah dan beban, itu menandakan bahwa dia tidak menyayangimu dengan bersungguh-sungguh.

"Bolehkah aku pulang, nyonya Luth. Aku ingin menemui keluargaku." Berlian membuka suara, membuat Luth menatap perempuan itu lagi. Dia mengusap buku jari Berlian lembut bagai anaknya sendiri.

"Jangan memanggilku nyonya, panggil aku ibu seperti anak-anaku yang lain, Zeana pun sama," tangannya berganti mengusap surai Berlian. "Pulanglah. Lagipula jika aku merindukanmu, aku bisa menyuruh Edgar untuk menjemputmu." Edgar tersenyum mendengarnya, seharusnya yang tidak rela Berlian pulang adalah dirinya, tetapi malah ibunya yang tak rela.

Zeana, perempuan itu hanya diam namun senyuman manis terus terukir dari bibirnya. Sepertinya perempuan itu memiliki sifat malu, juga mungkin dia tidak tahu harus menanggapi apa.

"Kalau begitu aku pamit." Berlian menunduk singkat namun terlihat sopan. Dia tatap singkat pula semua orang dengan senyumnya. Menghampiri Edgar yang mengulurkan tangannya menyambut gadis itu. Sepertinya pria itu sudah berubah pikiran dan mengiyakan permintaannya untuk pulang.

"Aku pamit, senang bertemu kalian."

EDGAR - Cruel Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang