Empat hari berlalu, hari ini Berlian merasa bahagia. Akhirnya ada hari dimana dia bisa menemui sahabatnya.
Empat hari belakangan Edgar selalu datang menjemputnya saat pulang sekolah dan beralibi mengajaknya makan sore dan berbelanja barang-barang mahal yang perempuan itu inginkan. Namun Berlian tetaplah Berlian, dia tidak mau menerima mentah-mentah pemberian dari pria itu. Hanya makan saja ajakan yang dia mau. Itupun Edgar selalu memaksa dan mengancam akan berteriak agar seluruh teman-teman Berlian tau jika dia adalah pacarnya. Sangatlah bohong.
Lagipula jika soal makan, dia juga bisa membayar makanan pria itu. Walaupun memang Edgar tidak pernah mau jika Berlian meminta untuk bergantian membayar makanan.
Katanya pria macam apa yang membiarkan gadisnya membayar semuanya, itu bukanlah aku. Aku memiliki banyak uang juga kekayaan, aku sangat senang jika kau menikmatinya.
Terkesan sombong tapi begitulah pria yang benar-benar seorang pria. Siapa wanita yang tidak menyukai pria seperti Edgar yang bermandikan uang di usia muda. Bahkan dia kerap menyerahkan black-card nya untuk Berlian gunakan namun sekali lagi tetap perempuan itu tolak.
Berlian merasa tidak pantas menerimanya dan semua itu berlebihan. Dia bukanlah siapa-siapa di hidup pria itu. Menggunakan uang-uangnya sama saja merendahkan harga dirinya. Ladia masih memiliki penghasilan dari resto kecil miliknya dan itu sudah cukup untuk menghidupi Berlian pun Lesya adiknya.
Langkahnya kini riang memasuki halaman rumah Geswa yang gerbangnya tak pernah terkunci. Seperti biasa, sepi. Tidak ada suara apapun disana. Berlian sudah biasa masuk tanpa mengetuk dan kini dia melakukan hal yang sama. Lelaki itu pasti berada dikamarnya seorang diri. Berlian menuju kamar Geswa yang memang masih berada di lantai satu.
"Geswaa, apa yang kau lakukan astaga!" Berlian terpekik, matanya melotot sempurna melihat dihadapannya bahwa Geswa dengan sengaja meminum pil dengan jumlah yang banyak. Berlian tahu betul pil itu adalah obat dengan dosis yang tinggi. Langsung saja dia bergegas mendekati lelaki itu, berusaha menyingkirkan obat dari tangan Geswa yang masih menuangkan obat itu ke mulut.
Namun sia-sia saja lantaran obat dari botol berukuran kecil itu sudah masuk semua kedalam mulut Geswa dan ludes ditelannya tanpa air.
"Kau sudah gila?" Tangan mungilnya itu mengguncang cukup keras bahu lelaki didepannya. Merasa marah karena ternyata Geswa se hancur ini. Air matanya mengalir dengan deras tanpa permisi, Berlian merasa hancur melihat keadaan Geswa yang amat buruk.
"Tidak ada gunanya aku hidup lebih lama." Ujar lelaki itu enteng tanpa memperdulikan Berlian didepannya yang menyayanginya.
Dengan sesegukan Berlian menggeleng, menangkup wajah Geswa. "Aku menyayangimu, masih ada aku yang mengharapkanmu hidup dan bahagia. Kau harus bahagia Geswa, jangan pernah merasa jika kau tak memiliki siapapun. Persetan dengan ibumu yang selalu memperlakukanmu buruk, masih ada aku. Dan juga__ayahmu. Dia pun salah satu orang yang mengharapkanmu bahagia."
Dipeluknya erat tubuh lelaki didepannya, menyalurkan rasa sakit Geswa yang selalu terpendam sendirian. "Ayahmu pasti ikut hancur jika melihatmu seperti ini. Jika tidak demi aku, setidaknya demi ayahmu."
Geswa masih diam, satu tetes bulir bening luruh dari matanya yang sayu. Segera mengusapnya kasar, dia tidak mau terlihat lemah dihadapak Berlian. Walau nyatanya dia memang telah lemah dengan mencoba mengakhiri hidupnya sendiri.
"Aku lelah Berlian, aku ingin mengakhiri semua ini. Semuanya sia-sia kulakukan jika ibuku tak akan pernah menyayangiku lagi. Aku lelah dengan semua tuduhan ibu padaku yang tak pernah sama sekali aku lakukan." Kini tanpa adanya lagi ego itu, air mata Geswa luruh di pelukan Berlian. Keduanya menangis dengan hati yang terasa amat sakit. Mengingat dulu mereka begitu ceria dan bahagia, kini melihat Geswa sangat hancur.
"Kau kuat, kau adalah pria terkuat yang pernah aku kenal. Jangan pernah mengatakan hal buruk lagi."
Berlian berdiri, menuntun Geswa juga dan mendudukan laki-laki itu di atas kursi rodanya. Mendorongnya keluar dari kamar. Geswa hanya diam, dia usap semua air mata yang masih membasahi pipinya pun dengan Berlian. Tidak ada suasana sedih lagi, dia tidak mau melihat Geswa terus menerus larut dalam sedihnya. Tidak akan ada yang memberi support kepada lelaki itu selain dirinya.
"Ayo kita membeli ice cream, suasana hati akan membaik saat kita memakan es manis itu." Berlian arahkan kursi roda Geswa menuju penjual ice cream ditepi jalan. Mereka sudah jauh dari rumah Geswa. Rumah yang menurut Berlian tempat mengerikan. Rumah itu selalu membuat Geswa menderita.
"Makanlah." Diberikannya Ice cream rasa coklat itu pada Geswa, Berlian tau dan hafal rasa ice cream kesukaan Geswa. Sedari dulu laki-laki itu menyukai ice-cream coklat dan dirinya ice cream strawberry. Berlian duduk di tepi jalanan sepi itu, disamping kursi roda Geswa.
"Simpan saja uangmu untuk kau tabung. Bukannya malah mentraktirku ice cream." Celetuk Geswa merasa uang Berlian sia-sia jika dikeluarkan untuknya.
"Bagaimana aku bisa menabung dan melewatkan ice-cream se enak ini? Saat kita kecil dulu kita tidak pernah melewatkan ice cream hampir setiap hari. Sampai kita pernah demam bersamaan karena terlalu banyak memakannya, lucu sekali," Berlian bercerita dengan sedikit tergelak, mengukir senyum diwajah laki-laki disampinya. Senyuman yang sudah amat lama tak pernah Berlian lihat lagi.
"Apa kau tidak bosan memakan ice-cream strawberry sejak dulu? Tidak inginkah berpindah rasa?" Tanya Edgar mengangkat sebelah alisnya.
Berlian mengerutkan keningnya. "Hei kau pun sama, sejak dulu kau selalu membeli rasa cokelat. Tapi anehnya gigimu baik-baik saja dan masih sehat sampai sekarang."
Edgar benar-benar berkekeh kali ini. "Itu menandakan bahwa kita berdua adalah tipe orang yang setia, bahkan untuk rasa pun tidak pernah mencoba berpindah."
Tawa ini, yang sangat Berlian rindukan. Wajah yang terukir senyum ini sangat indah. Geswa sangat tampan walau mukanya tertutup beberapa lebam. Pahatan wajah Geswa membuat siapapun yang memandangnya merasa damai. Geswa sangat damai untuk siapapun yang menatapnya. Dia sangat lembut sedari dulu. Definisi laki-laki soft spoken adalah Geswa. Dia tidak pernah sekalipun membentak Berlian.
Terlebih dia tau jika Berlian tidak bisa dibentak, gadis itu tidak menyukai siapapun yang meninggikan suara padanya. Dia takut dengan orang-orang seperti itu. Orang yang suka membentak terlihat seperti monster. Terkadang Berlian merasa takut pada ibunya sendiri saat marah.
"Apa kau ingin mengunjungi taman baru yang berada di ujung sana? Aku akan mengajakmu kesana besok." Kata Berlian menghabiskan titik terakhir ice-cream strawberry nya dan membuangnya pada tong sampah terdekat.
"Aku juga mendengar tentang taman baru itu dari internet. Tapi jika kau sibuk tidak usah. Kau sekolah bukan, pasti lelah?" Geswa tersenyum menatap gadis itu. Seolah mengatakan bahwa sekolah lebih penting dari apapun, bukankah sekolah hingga jam empat sore membuat lelah.
"Aku akan mengajakmu sepulang sekolah, aku tidak se-alay itu hingga merasa amat lelah. Aku bisa kembali semangat jika bertemu denganmu."
Pecah, tawa keduanya benar-benar lepas. Seolau lupa bahwa selama ini laki-laki itu amat menderita. Seolah sejenak waktu berhenti. Tolong Tuhan, buat hari-hari mereka kedepan selalu bahagia dan senyum terus terukir diwajah kedua sahabat itu.
Sedangkan ditempatnya, pria berjas hitam dengan dengan celana licin hitamnya melonggarkan dasi yang terasa amat mencekik, mengepalkan tangannya dengan kuat. Urat-urat dilehernya terlihat jelas dan wajahnya pun merah padam menahan amarah.
Udara terasa amat sesak, melihat di ujung sana gadisnya tertawa lepas bersama pria lain. Pria yang baru pertama kali Edgar lihat. Siapa dia? Beraninya tertawa bersama gadis yang sudah dia klaim menjadi miliknya itu. Dia tidak rela, sungguh amat tidak rela pun tak ikhlas melihat pemandangan disana. Bahkan setelah bertemu selama tigabelas tahun lamanya berpisah, Berlian tak pernah sekalipun bahkan untuk sekedar tersenyum padanya.
Tapi pria itu berhasil membuat Berlian tertawa bahagia. Edgar cemburu, dia akui dia cemburu. Sialan, baru pertama kali dia merasakan perasaan seperti ini. Itu sangat membuatnya marah dan ingin sekali keluar dan membuat pria itu lenyap sekarang juga.
Tapi jika dia melakukan itu, Berlian sudah pasti akan membencinya. Gadis itu akan semakin tidak menyukainya.
Edgar pikir, dia tidak memiliki saingan untuk mendapatkan gadis itu. Ternyata salah, dan dia tidak suka bersaing. Kapanpun, dengan siapapun dia harus menang.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDGAR - Cruel Dark Side
RandomBerlian tidak pernah menyangka jika hidupnya akan berubah 180 derajat sejak ia dipertemukan dengan laki-laki kejam dan menjadi pengontrol hidupnya yang bernama Edgar. Laki-laki dengan sejuta teka-teki yang selalu membuatnya bingung. Sejak hari perta...