Tiada Hari, Tiada Malam

21 9 2
                                    


{Cepatlah, Berlari}

∆∆∆

Yosapat seketika mengambil duduk di sisi lain seraya perlahan menyenderkan punggung di sisi meja yang ringkih. Malam ini mereka sedang berada di warung kecil dengan penerangan lampu seadanya.

Begitu selesai dengan pengecekan mesin dari salah satu wahana yang sempat adanya laporan kendala dari mesin yang macet tersebut, Gya dan Yosapat langsung mampir ke warung kecil di bawah bukit, sekitar pinggiran kampung kecil.

Gya pun segera memesan kopi khas di sini yaitu kopi palu kayu manis lalu singgah di kursi depan etalase berisikan makanan gorengan dan lauk pauk dari olahan cita rasa penduduk sekitar.

"Gimana soal urusan di Jakarta? Surat-surat udah beres?" Yosapat mengangguk lalu mendongakkan sejenak mukanya. "Gua mau secepatnya rencana gua jadi."

"Santai men," ucap Yosapat yang mengikuti gelagat Oman yang selalu mengatakan demikian di tengah situasi tidak ada harapan. Namun Gya tidak menggubrisnya.

"Lo udah dapat perwakilannya?"

"Nggak ada yang memenuhi syarat lo."

"Oke, kalau begitu, lo aja."

Yosapat menoleh ke arah Gya. Pandangannya tidak terkejut karena dia cukup terbiasa dengan keputusan-keputusan bodoh Gya.

Yosapat hanya memasrahkan diri saja kalau Gya sudah menjadi kepala batu. Tidak mencoba untuk membantahnya.

"Saksinya gimana?"

"Oman."

Namun untuk kali ini, agaknya Yosapat sedikit ingin memberikan kesadaran untuk Gya.

"Je, jangan gila lah." Wajah Yosapat begitu memelas melihat Gya yang sudah berada di ujung tanduk itu.

Sampai-sampai, Yosapat sudah tidak memanggil dengan sebutan biasannya kepada lelaki itu melainkan seperti tadi untuk menegaskan betapa Yosapat sudah berada di ujung jurang juga untuk memahami cara Gya berpikir.

"Siapa lagi emangnya?"

"Sebenarnya yang paling mendekati kriteria menurut lo itu si Jeki, cuma, Jeki kan nggak suka sama lo. Dan waktu yang lo tentuin udah mepet."

"Jeki Pasaribu? Bekingannya si Sahrul?"

"Iya, inget lo."

Gya mengangguk kemudian mengambil gelas kopi di atas etalase. "Ngapain lo sampai ke Jeki segala?" Dan satu cangkir kopi lagi melimpir di etalase makanan.

Gya langsung memberikan kode kepada Yosapat untuk mengambilnya. Yosapat yang mendapati kode itu, langsung bangkit untuk meraih kopi itu seraya berpindah tempat duduk di sebelah Gya.

"Ya ilah, lo pikir gua harus cari ke mana lagi sosok dengan perawakan gagah, meyakinkan dan sebagainya itu?"

Gya tidak menjawab lantaran mulai menyeruput kopinya. "Dia tinggal di mana sekarang?" Berselang seduhan kopi sudah melewati tenggorokkannya, Gya pun kembali berbicara.

"Tanjung Priuk."

"Dari kapan?"

"Lima bulan yang lalu."

"Balik lagi tuh orang."

"Ya emang dia gaya aja dulu kali, ujung-ujungnya juga balik ke gerobak sampah," ucap Yosapat sambil memutarkan gelas kecil. "Tapi nggak kapok tuh anak kalau udah berurusan sama Yohanna," lanjut Yosapat dengan pandangan masih pada gelas kecil di depannya. "Biar sial, dia tetap mendapatkan proyek di pulau B."

Gya menyengir tipis. Dirinya sudah enggan berurusan lagi dengan segala intrik yang memuakkan itu. Tujuannya kini tinggalah satu. Dan setelah dia berhasil menggaetnya, mungkin dia akan lari atau menghancurkan bumi sekalian saja.

Ah, entahlah. Gya tidak tahu rencana selanjutnya bagaimana selain hidup bersama Adrianna.

Memiliki anak? Gya pun menegakkan wajahnya saat pikiran itu tercetus begitu saja di kepalanya.

"Kenapa lo?" tanya Yosapat yang menangkap gelagat aneh dari Gya. "Kambuh lo? Eh, gua minta singkong ya," imbuh Yosapat lalu meminta kembali pesanan kepada bapak pemilik warung yang tengah duduk di dalam.

"Ngga papa," ucap Gya lalu mengembuskan napas gusarnya. "Gua cuma mau ketemu Adrianna dulu."

"Kapan jadinya?"

"Besok." Gya melirik ke arah Yosapat. "Semua berkas udah lo taro di tempat gua?"

"Iye, udah rapi."

"Oke. Berarti sesampainya gua di Jakarta, gua langsung ke rencana."

"Lo ajak bicara dulu kan pastinya?" tanya Yosapat dengan pandangan aneh ke arah Gya.

Tentunya aneh karena Gya begitu seenaknya saja memutuskan suatu pilihan yang mengorbankan anak orang.

Gya pun tidak menjawab melainkan memilih untuk bangkit dari istirahatnya seraya menyeruput kopinya hingga tandas kemudian mengambil dompet kulitnya untuk membayar seluruh pesanan, terhitung yang sedang Yosapat pesankan, menjelang kepergiannya.

ASA YANG MERAJUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang