Sudikah Datang Kembali?

17 11 24
                                    

{Langkah yang seperti meneror}

Sudah dua hari kemudian Adrianna mengurung diri di kamar dengan keterbatasan interaksi. Kendati demikian di tengah keterbatasan itu tak urung membuat Jael serta lainnya menyerah begitu saja untuk mengajak Adrianna berbicara.

Dan kini, sosok sedang berdiri di depan kaca itu telah menunjukkan keadaannya. Di sana Adrianna lagi berjibaku sama alat riasnya. Cushion di tangan begitu ciamik menyapu wajahnya yang memucat. Hingga polesan-polesan berwarna merah itu, melunturkan warna porselen yang memerlukan sinar matahari.

Adrianna sudah tampil begitu cantik dalam balutan baju biru berlengan panjang, menutupi kaos bergaris zigzag. Rambut ia biarkan terurai, menambah cendekia akan wajah imut yang memilir pesonanya selama ini.

Adrianna mencoba menyunggingkan senyumannya di depan kaca. Senyuman yang tengah perempuan itu latih agar tidak terkesan kaku sewaktu ia menyapa teman-temannya di kampus maupun teman teaternya.

Adrianna bertekad untuk kali ini segera bangkit dari hal-hal yang memikul punggungnya belakangan. Adrianna berusaha keras untuk meredam pergolekkan yang selama ini bukan hanya saja menyusahkan dirinya, melainkan orang di sekitarnya. Keinginannya itu begitu besar saat mengingat suasana dirinya bermain peran.

Adrianna membayangkannya begitu dalam.

Sorak sorai, nyanyian, tarian, dan dialog menggawai dalam selaput otaknya untuk terus mendera yang lambat laun membentuk suatu kerinduan. Lalu, keadaan itu semakin semarak saja dalam hitungan satu pesan masuk ke dalam ponselnya.

Adrianna sendiri tidak menyadari sudah berlama ia mengabaikan ponselnya. Ia juga tidak mempunyai pikiran apapun mengenai keberadaan benda pipih itu. Badannya sudah begitu terseok-seok untuk mencerna situasinya itu.

Namun pikirannya sontak mengarah pada benda pipihnya kala suara getar sampai pada telinganya.

Ia membuka matanya setelah berusaha tidur. Usahanya yang lalu menjadi sia-sia belaka. Lantaran Adrianna memilih untuk mengecek ponsel yang tergeletak begitu saja di meja kecil sebelahnya.

Dan mata cantik dengan bulu mata lentiknya itu, menyambut pesan tersebut bersama berbagai tirani di irisnya.

...

"Anna, selesai kelas, kamu mau ke mana?"

Adrianna melirik sosok di kursi pengendara. Kini Adrianna sudah duduk tenang di dalam mobil bersama Nicho. Seraya mobil membelah jalanan dengan tenang juga, Nicho pun mengambil kesempatan di antara keheningan di dalam mobil untuk berbicara bersama Adrianna.

Adrianna tidak langsung menjawab. Bibirnya hanya perlahan menipis. Tampak dari samping, perempuan itu tengah mempertimbangkan sesuatu.

Mungkin sebuah rencana yang tengah menjadi pertanyaan Nicho. Nicho sendiri masih setia menantikan jawaban Adrianna dengan pikiran menghalau ke beberapa momen belakangan.

Semenjak kejadian di Banda Neira, Nicho telah memutuskan untuk memberanikan diri mendekati Adrianna lagi. Setidaknya membangun komunikasi dan memperbaiki hubungan dengan baik.

Meskipun keadaan mereka sudah berbeda, Nicho bertekad untuk melunakkan egonya yang kapan saja memang tidak akan pernah menyembuhkan lukanya. Nicho mulai paham sekarang.

Dia hanya sibuk berkutat dengan egonya yang begitu tersakiti lantas menciptakan sosoknya yang begitu keras untuk membentengi dirinya dari Adrianna. Hal mana, akan memperburuk kehidupannya saja. Dan itu membuat dirinya kesulitan untuk beradaptasi dengan Adrianna dalam posisinya kini.

Semua pikiran itu tidak akan pernah ada kalau Nicho tidak pernah melihat interaksi yang dimiliki oleh Chico dan Adrianna. Ada rasa cemburu yang besar dan iri sekaligus yang mencambuk benaknya, memang.

ASA YANG MERAJUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang