Sesak, dan Menggamang

15 4 2
                                    


ON REC

"Hai, gimana rasanya kali ini?" Sosok di depan kamera itu seketika melebarkan mata saat kamera tiba-tiba menyorot wajahnya yang sudah dirias dengan anggun. Rambut yang disanggul rapi, bergoyang, mengikuti ritme kepalanya tengah terkaget.

Sosok itu tersenyum gugup. Gya dapat menemukannya dalam sekejap mata saja akan panorama yang memukau tetapi tak urung panorama itu enggan menyadarinya.

"Kayak biasanya aja. Tapi kali ini, aku takut lidah aku terselipet."

Dia lalu tertawa, begitupun Gya dari balik rekamannya. Gya pun menyerongkan layar kameranya sejenak ke sisi lain untuk merangkum bagaimana situasi di ruangan kostum; sebagian orang berlalu-lara; ada juga yang masih duduk di depan kaca untuk merias sebagian wajah; adapun tengah mencocokkan hiasan di kepala dan tubuh lainnya.

Semua begitu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Kecuali sosok di depan Gya yang kembali menjadi sorotan lelaki itu. Wajahnya sedikit memucat. Riasan di wajahnya seakan ingin membiasakan diri untuk menampilkan seonggok manusia dari balik kesempurnaan sosok itu miliki.

Gya pun memegang lengan Adrianna. Membuat si empunya, melirik ke arahnya dan juga layar video.

"Tenanglah, seperti yang sudah-sudah, kamu bisa melampuinya," ucap Gya diselingi usapan lembut tangannya di kulit seputih susu lengan Adrianna. Adrianna memejamkan mata lalu kembali menerbitkan senyuman dari bibir memerah yang merona.

Begitu pula sosok Gya yang tengah bersandar seraya menonton wajah yang memekak suara di kepalanya.

...

Nicho memperketat rahangnya sesaat mengintip bagaimana sosok kedua sejoli di dalam kamarnya sedang bercengkrama. Rasa tidak terimanya itu lantas menyurami seluruh benaknya. Seolah dirinya tengah diolok juga setelah taruhannya kini kalah.

Nicho tidak rela, tidak akan rela terhadap sosok yang mampu melewati batasannya sekarang. Nicho tidak rela, betapa usahanya itu tidak ada artinya lagi untuk Adrianna.

Bahkan, hanya untuk menunjukkan dirinya masih peduli dengan Adrianna, lalu perempuan itu mencoba untuk menepiskan.

Nicho tidak rela, begitu mudahnya sosok di depannya itu membuat dirinya harus tumbuh dalam rasa yang tersaingi. Tersingkirkan, dan wajahnya berada dalam perbandingan di antara lebih baik, menangapkan gencetan di balik benaknya.

Nicho membayangkan itu hingga ke dalam-dalamnya yang membubuli mimpi terlalu sulit untuk Nicho olah. Mimpi buruk dari sekian mimpi buruk lainnya.

"Nich," panggil sosok di belakang Nicho. Namun Nicho belum beranjak dari sarangnya yang mengebul. Sosok yang kini berdiri di sebelahnya kembali memanggil Nicho. "Percuma lo lihatin terus. Nggak ngubah apa-apa juga 'kan?" Nicho menoleh ke sebelah. Itu suara Jael tentunya.

"Lo ngapain sih di sini?"

"Memantau."

"Tuh, lo sendiri aja mantau, nggak lo komenin diri lo juga?"

"Gua mantau lo maksudnya."

"Anjing," desis Nicho tajam. Apinya belum juga mereda, kini dia harus menghadapi orang yang jauh lebih buruk untuk memekarkan selaput di benaknya dengan darah yang terus membanjir.

Nicho mengira sikapnya Jael ini untuk memperoloknya. Maka tak ayal perasaan itu mudahnya menyerok dirinya dan mendorongnya untuk beraba-aba melayangkan pukulan ke arah Jael.

Namun Jael menepis secara cepat. Mendadak refleksnya begitu tajam bekerja untuk menyingkirkan Nicho dari kekacauan yang akan dia ciptakan sendiri di belakang pintu.

"Eh anak setan! Lo mau Adri makin males sama lo?" sahut Jael seraya merangkul Nicho dengan kencang.

"Lo lagian ganggu aja!"

"Ye, lonya juga ngapain di situ? Gua kan berusaha untuk menstabilkan situasi."

"Emangnya gue ngapain?"

"Gua cuma berjaga-jaga aja, Nicho!"

"Lo pikir gue bakal masuk kayak orang bodoh begitu?"

"Nggak ada yang tahu 'kan? Selagi masih dipantau, ya pantau aja dulu!"

"Udah tai, lepasin!"

Jael segera melepaskan pegangannya terhadap Nicho. Nicho yang baru bebas dari cengkraman Jael, membetulkan baju kutangnya. Lalu melirik sinis ke arah Jael. Jael pun hanya berdecak pelan selang Nicho mulai kembali ke posisinya untuk berdiri di belakang pintu.

Setelah sedetiknya, Jael bergantian menghampiri Nicho. Jael menyenderkan tubuhnya di tembok dengan posisi miring mengarah ke Nicho seraya melipatkan tangan di dada. "Lo nggak bisa biarin mereka dulu aja?" ungkap Jael. "Maklumin lah keadaan adik gua."

"Gue nggak tahu apa salah gue, El. Kenapa seakan Anna pilih kasih begitu sih? Gue kan yang udah masakin dia. Tapi kenapa sama Chico doang dia mau makannya?"

"Karena dia nggak grasak-grusuk kayak elo."

"Maksud lo?"

"Lah ya, lo lihat kan mereka berdua. Chico kelihatan tenang menghadapi Adri."

"Lo pikir gue bujuk Anna tadi pake kekerasan?" Kembali Nicho tersulut emosinya lantaran kurang bisa menerima omongan Jael. Pastinya dia merasakan demikian. Selama Adrianna berada di sebelahnya, Nicho sudah menjadi sosok yang paling sabar untuk menghadapi Adrianna yang membuatnya juga bingung.

Nicho jarang melakukannya, sekali lagi ia tekankan. Namun kini apa? Omongan Jael seakan menuduhnya bahwa daritadi Nicho tidak becus untuk menjaga Adrianna.

"Eh bro, lo nanya begini sama gua, jawaban gua akan menjadi subjektif karena emang gua juga nggak tahu! Cuma Adrianna doang yang tahu jawabannya kenapa dia lebih mau dibujuk sama Chico!"

"Tapi kan tadi lo juga bilang, yang bisa bujuk Chico doang. Dan situasi yang gue lihat itu ya membenarkan omongan lo."

Jael pun berdecak seraya menghempaskan tangan. "Gua kan melihat dari kacamata hubungan mereka dulu! Ya saat gua bilang itu, juga, kan Chico lagi mau datang ke sini. Sama yang dibilang Kintan, harapan kita cuma pada Chico. Lo pikir emang siapa lagi yang bakal datang ke sini?!"

Nicho menarik napas panjangnya seraya memejamkan mata. Lalu mengembuskan secara kasar seraya menjauh dari posisinya kini.

"Sial!"

Jael menggelengkan kepala. "Lagian pentingan mana sih? Adrianna bisa makan atau siapa yang bisa bujuk dia?" tanya Jael kepada Nicho.

Nicho yang posisinya membelakangi Jael sambil menyampirkan kedua tangan di pinggang, tidak bisa berkutik lagi. Membuat jeda di keduanya yang hanya ditemani suara cekikian dari dalam kamar. Lalu tak berselang dari itu, Nicho menoleh ke arah Jael.

"Yaudah kita bahas next rencananya."

"Kita perlu ngomongin ini sama Chico."

"Apa nggak kita bahas lebih dulu aja?"

"Gua nggak mau ngulang dari awal lagi."

Nicho berdecak. "Ah terserah deh! Tapi yang pasti gue bakal cari tahu tentang si brengsek itu."

"Bukannya lo udah pernah?" tanya Jael. "Terus kata lo, Gya sulit dilacak informasinya."

"Ya, gue coba lagi aja, dengan apapun."

Jael menghampiri Nicho. "Emang lo udah ada bayangannya?"

Nicho tampak berpikir sejenak. "Kurang lebih begitu."

"Apa ide lo?"

"Gue mau minta bantuan teman gue. Dia ahli IT. Kali aja dia bisa bongkar sesuatu."

"Kenapa nggak dari awal aja lo begitu?"

Nicho pun terdiam, menyulami perkataan Jael yang adakalanya memang mampu membuatnya membisu begitu saja.

..

(Y/n)
Ada sebagian plot mesti diganti hhhh. Sisanya aman. Sorry my bad. :(( smg tetap ada yg ikutin perjalanan kisah Gya dan Adrianna, ya.

ASA YANG MERAJUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang