{Segala Kemungkinan: Mana Yang Benar; Mana Yang Salah}
Suara ketukan pintu, entah ke sekian kalinya masih saja menghuyung telinga Jael yang matanya begitu lengket saja untuk terbuka. Jael memang sudah mendengarnya beberapa kali.
Namun kebiasaan masa bodoh telah mendarah daging untuk pria berkepala hampir tiga abad itu, sehingga dengan ketukan mau puluhan kali saja pun tetap tidak digubris oleh Jael.
“Jael, kalo lo nggak buka sama sekali nih pintu, sorry to say, gua bakal minta tolong banser buat dobrak pintu lo!”
Jael langsung membelalakkan matanya yang memerah. Kepalanya otomatis mengarah ke pintu bersama degup jantungnya yang begitu meliar. Entah, suara dari balik pintu seperti dorongan magis untuk bisa membuat Jael terbangun, atau memang kebetulan setengah mimpinya tadi hampir di situasi yang, mana, Jael sedang terjebak di antara kerumunan orang berseragam. Membawa perasaan sangsinya itu ke dunia nyatanya.
“Jael, buka pintunya, gila!” Suara teriakkan di luar sana masih menggebu. Jael memang sudah membukakan matanya tetapi belum bereaksi apa-apa. Jadinya, sosok di luar sana tetap menganggap Jael berada di mimpi ternyamannya. “Jael, beneran ya, gua telpon juga nih!” ancam sosok di luar sana. Dan Jael refleks bangkit dari tidurnya untuk menuju daun pintu kamarnya dengan kelabakan.
“Eh, monyet!” sulut Jael yang agak panik seraya berjalan lalu segera membuka pintunya.
Pintu pun terbuka. Dan memperlihatkan sosok Chico dengan setelan jauh lebih santai; kaos putih dan celana jeans sedikit belel yang begitu pas sama badan idealnya.
Belum lagi, rambut yang sudah mulai lebat itu tampak sedikit acak adut. Tipikal Chico memang, dalam atribut penampilannya saat di waktu kosong.
“Nah, bangun juga kan lo!” sapa Chico, tak lupa dengan senyuman khas cowok itu yang begitu melekat di wajah manisnya. Sementara di depannya, sesosok Jael yang masih berwajah bantal itu menguap lebar sambil menggaruk kepala belakang.
“Orang gila!” sungut Jael sesudah itu.
“Eh, lo yang gila,” balas Chico begitu santai seraya menoyor kecil dahi Jael. “Lo napas nggak sih kalau tidur?”
“Yee, ya kalau nggak napas, gua nggak ada di sini kalih!” ujar Jael lalu melimpir kembali ke dalam kamarnya yang diikuti oleh Chico. “Lo lagian ngapain sih pake nyebut banser? Gua udah mikir yang ngomong itu Nicho," protes Jael lagi seraya berjalan untuk mengambil minuman di dispender sebelah meja kerjanya.
Chico pun bergegas menutup pintu dan segera mengambil posisi duduknya di sudut jendela.
“Kok jadi Nicho dah?” tanya Chico. “Ya, gua juga tadi ngasal aja. Masih mending ini. Daripada gua bawa tanjidor ke sini?”
Jael memutar bola matanya. “Soalnya yang ngomongnya paling ngaco si anak kampret itu!” ucap Jael lalu menegukkan air putihnya sampai habis dalam hitungan lima belas detik saja.
“Ya, lagian lo nggak bangun-bangun. Gua aja heran lo tiba-tiba bisa bangun begitu. Soalnya kalau usaha gua tadi nggak digubris juga, gua mau balik lagi aja, main.”
“Emang mau ke mana lo?”
“Nongkrong aja di rumah Pale. Masih ingat nggak lo? Yang rumahnya dekat warkop Sansudin.”
“Oh iye, warkop legendaris tuh,” ujar Jael. Kemudian untuk kedua kalinya mengambil air. “Lo kok nggak ngapelin Eva?”
“Nanti gua baru mau jemput dia di butik nyokapnya. Jam sebelasan lah," kata Chico. “Eh, adik lo mana ngomong-ngomong?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ASA YANG MERAJUK
RomanceAdrianna Jayatri Pradipta, seorang gadis periang yang terjelembab dalam takdir, bertemu dengan sesosok memiliki kecenderungan futuristik wannabe bernama Gya Katon Bramatja. Semenjak itu, kehidupan Adrianna tidak lagi menjadi seutuhnya. Mampukah Adri...