.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 𝔛𝔙ℑ

4 1 0
                                    

Padahal Fei telah siap melancarkan serangan berikutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Padahal Fei telah siap melancarkan serangan berikutnya. Namun, diturunkan lagi tangannya lantaran perkataan Nanda meninggalkan perasaan bersalah yang mendalam. Namun, penggilan sang Kakak segera menyentak kesadarannya.

"Fei!"

"Fei!"

Suara terakhir milik Kroiee. Dia berharap Fei mengurungkan niatnya untuk menyerang, tetapi tak didengarkan.

Terlihat jelas, Fei melesat begitu cepat membawa cahaya kekuningan berbentuk seperti api. Cahaya itu berputar-putar. Putarannya semakin cepat seiring mendekatnya Fei pada target.

Kroiee membuka mata lebar-lebar. Itu kekuatan pamungkas milik Fei yang dulu pernah membuatnya tumbang dalam sekejap ketika mereka latihan bersama. Saat itu, Fei mengaku sudah mengurangi kekuatannya, kalau-kalau Kroiee khawatir akan mati seketika. Namun, ia baru mengetahui ucapannya omong kosong belaka begitu kena tepat di ulu hati. Kroiee berputar-putar, dan terlempar amat jauh hingga merusak dinding batang pohon pembatas arena latihan.

"HENTIKAN, FEI! Kau bisa membunuhnya!"

Kecepatan Fei semakin bertambah. Sementara Nanda, berusaha bangkit untuk melarikan diri meski harus menyeret kedua kakinya.

Begitu dekat, Fei melompat–mengincar dada sebelah kiri. Nanda secepat mungkin berlari, lantas melompat agar terhindar dari serangannya. Namun, tidak dengan siku kirinya yang mengalami luka bakar cukup dalam. Darah menetes dari balik lengan baju memanah.

Tatapannya terpaku pada netra Fei, mencoba mencari setidaknya setitik keraguan, tetapi nihil. Alih-alih kobaran api membara di sana.

Kalau begini terus, bisa-bisa ia mati dengan mengenaskan. Tidak, setidaknya belum. Jangan dulu.

Ambil tombak milikku.

Kepala Nanda menoleh ke segala arah, mencari-cari si pemilik suara. Namun, justeru Fei yang terlihat tengah bersiap melakukan serangan berikutnya. Kali ini dari kedua tangannya dengan cahaya kekuningan begitu besar.

Gemetar melingkupi sekujur tubuh Nanda. Ia tak memiliki energi tersisa, bahkan untuk sekadar menghindar. Kakinya mendadak lemas memikirkan inilah akhir hidupnya. Penuh penyesalan, tanpa penyelesaian.

Penyelesaian tentu ada: kematian.

Tiba-tiba sesuatu berpendar seolah memberitahu keberadaannya. Sebuah benda berbentuk seperti tongkat panjang kecoklatan menampakkan diri dekat onggokan kayu besar bekas pohon tumbang. Meski jaraknya hanya beberapa meter, tetap saja butuh tenaga lebih bagi Nanda untuk mencapainya.

Panggil dia.

Bola mata Nanda bergerak kanan-kiri. Peluh mengalir dari kening bersamaan dengan melesatnya dua serangan Fei. Ia paksakan diri mengangkat tangan, lantas mengucapkan satu kata pemanggil.

"Datanglah."

Seketika tombak menghalau serangan Fei, lantas menghampiri si pemanggil. Perlahan Nanda berdiri dengan bertumpu pada tombak. Tanpa berlama-lama, langsung dihentakkan tombak itu ke tanah.

𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang