.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 𝔙ℑ

6 3 0
                                    

Sebuah anak panah melesat jauh melewati target

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah anak panah melesat jauh melewati target. Terdengar teriakan coach yang menyuruh untuk mengulangi tembakan. Dengan berat hati, Nanda menyeret kakinya ke tempat anak panah tadi jatuh. Tadi itu sudah tembakan ke-10, dan belum ada perubahan: kalau tidak melewati target, anak panah itu pasti jatuh sebelum mencapai target. Begitu pula dua tembakan terakhir yang membuat Coach Dika angkat tangan. Nanda diminta istirahat dulu karena sepertinya belum bisa fokus.

Beberapa pasang mata mengiringi kepergian Nanda. Samar-samar ia mendengar beberapa dari mereka mengatakan sesuatu.

"Makanya, jangan sombong jadi orang."

"Suka sendirian aja, sih."

"Belagu. Sekarang rasain, mana ada yang mau bantu."

Dan perkataan kurang mengenakkan lainnya yang hanya membuat sakit hati, jika Nanda mengindahkan semua ejekan itu. Nyatanya, ia tetap melangkah tanpa menoleh untuk sekadar membalas dengan kata-kata yang lebih kejam lagi. Nanda memang seperti yang mereka katakan, lebih nyaman seorang diri.

Nanda memilih duduk di bawah pohon besar yang mampu menaungi dari teriknya matahari. Menengadahkan kepala seraya menghirup udara segar yang nyaris tidak bisa ia dapatkan di kota besar. Merasakan tanah yang dipenuhi dedaunan kering yang terserak, menyentuh batang pohon yang sedikit kasar dan telah menua.

Sedikit bersyukur juga coach memindahkan tempat memanah ke area yang dipenuhi pepohonan besar karena ia sudah rindu dengan yang hijau-hijau. Ya, semua itu akan terasa sempurna jika saja tadi ia tidak gagal menembak berkali-kali.

Ini semua karena penolakan Faiy. Saat ingin melepaskan anak panah tadi, Nanda memikirkan berbagai cara untuk membujuk peri sombong itu. Ternyata, bukannya menemukan jalan keluar, fokusnya berkurang, lantas anak panah itu melesat begitu cepat dan tidak terkendali. Barangkali Nanda benar-benar ingin menembaknya ke arah Faiy yang ia bayangkan ada di hadapan.

Dan benar saja. Bayangan Faiy muncul tak jauh dari tempatnya duduk. Bayangan itu tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang ia kenal baik.

"Ngapain kamu di sini?" Nanda mencoba mengajak bicara karena sosok itu terasa seperti sungguhan.

"Mau ketemu Kak Nanda. Aku mau kasih tahu sesuatu." Sosok anak kecil itu, Daru, mendekat, dan memberi jarak 3-4 langkah sebelum langkahnya terhenti. Ia membungkuk sampai jarak dengan telinga Nanda cukup dekat, dan membisikkan sesuatu. "Ibu tuh nggak sayang sama Kakak. Ibu cuma sayang sama aku." Sepintas mata Daru tampak berkilat. Ia tersenyum menyeringai sembari menjauhkan kepalanya.

Entah makhluk apa Daru yang kini bicara dengannya. "Anak kecil nggak usah sok tahu, deh."

Daru berdecak, lalu kembali tersenyum. Nanda sampai merinding sendiri melihatnya. "Kalau Ibu ... kukasih tahu, gimana? Boleh, kan. Bukannya Ibu bilang, kita nggak boleh bohong."

Mendengarnya, seketikan panas menjalari tubuh Nanda. Tiba-tiba ada sesuatu menekan dari dalam tubuhnya, dan mendesak ingin keluar. Entah datang dari mana, kekuatan itu muncul, mengajak Nanda melawan "adik"-nya bersama.

Layaknya panah yang melesat dari jari-jari seorang profesional, Nanda tiba-tiba telah berpindah tepat di depan Daru, dan mengeluarkan cahaya biru. Daru terdorong amat jauh, nyaris mengenai pohon besar di belakangnya. Tanpa memberi jeda, ia lancarkan serangan berikutnya sampai Daru terjatuh dengan posisi lengan Nanda berada di lehernya.

Gumpalan kapas putih mulai menutupi cahaya diiringi gemuruh angin yang seolah mengundang badai. Seringaian menghiasi bibirnya tatkala kedua tangan itu enggan meninggalkan leher sang adik. Alih-alih justeru berubah menjadi posisi mencekik. Dipandangi dalam diam raut yang selalu diingat karena dialah penyebab senyuman dan kesedihan Nanda.

Tiba-tiba, tubuh Nanda serasa terbakar yang merambat sampai kepala. Warna matanya membiru berkilat-kilat. Sebuah kekuatan besar terasa meluap-luap, apalagi begitu menatap wajah tak berdosa itu. Rasa tidak suka perlahan menghapus kata 'saudara', dan menempatkan kertas bertuliskan 'musuh utama' di urutan teratas. Genggamannya mengerat. Nanda telah siap melancarkan serangan.

Ditekannya leher itu kuat-kuat sampai bagian tubuh lain membengkak. Satu demi satu organ di dalamnya ikut membengkak, lantas hancur. Disusul suara seperti ledakan dari tubuh yang sama, tetapi kini telah berubah bentuk menjadi potongan-potongan tubuh yang terserak. Memuncratkan cairan merah yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.

Aah ... Kepala Nanda mendongak, menatap langit bertabur kembang api di tengah pekatnya kegelapan. Ia hidu aroma tak biasa yang mungkin akan muncul dan bisa menenangkan. Tidak mungkin. Baru dalam bayang saja sudah semenyenangkan ini euforianya. Nanda jadi ingin merasakannya langsung. Sekali saja.

Bunuh dia. Bunuh.

Yang Nanda ingat setelahnya hanya satu gerakan cepat menekan, lalu memelintir leher itu kuat-kuat. Satu kata yang keluar dari mulutnya: MATI! MATI! dengan membabi buta. Tubuh itu seketika hancur, cairan merah muncrat mengenai wajahnya. Alih-alih jijik, Nanda tersenyum sampai telinga meski mata tak memancarkan apa-apa.

Raut meneriakkan kegembiraan, sementara netranya berurai air mata. Sebuah perasaan aneh menyelusup sanubarinya.

Bunuh.

Bisikan itu terasa dekat. Mendadak ia tersadar, lantas mencari-cari sumber suara. Namun, hanya ada Nanda seorang di sana.

Matanya beralih ke kedua tangan yang berlumuran darah. Diangkatnya perlahan mendekati wajah. Bulir air berdesakkan keluar tatkala ia sadar perasaan itu kembali.

Panik, Nanda berlari hendak minta bantuan. Namun, ternyata itu bukan ide bagus kalau ia tidak ingin perbuatannya diketahui banyak orang. Nanda tak pernah menduga perasaan itu datang lagi. Meski sudah ia coba melupakan berkali-kali.

Nanda meremas rambutnya kuat-kuat. Rasanya ia ingin segera melepaskan diri dari kejadian itu. Kejadian yang tak ingin diingatnya lagi, pun tak ingin diketahui salah satu orang terkasihnya. Tidak. Jangan.

Panik semakin meraja. Dengan sekujur lengan dan kaki berlumuran darah, Nanda terus berlari. Sampai ia seperti menabrak sesuatu yang menahannya. Amarahnya belum juga mereda, Nanda mendorong paksa sesuatu itu. Terdengar suatu aliran yang bergetar. Perasaannya seperti terombang-ambing sampai Nanda sulit menerka apa yang tengah ia rasakan. Kemudian, tubuhnya serasa berputar dan berputar di udara. Dan gelap menelan segalanya.

 Dan gelap menelan segalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang