.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 𝔛𝔙

7 2 0
                                    

"Bagaimana?" Kimo Quee membelai deretan bunga yang terhampar di Taman Laluna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana?" Kimo Quee membelai deretan bunga yang terhampar di Taman Laluna. Ia berhenti untuk mencium aromanya.

"Anak itu meminta sesuatu pada Kukuyawu," lapor Uimo seraya membungkuk, memberi hormat. "Dia yang memulai, dia juga yang mengakhirinya."

"Oh. Besar sekali nyali anak itu, hm ... Nanda?" Seekor kupu-kupu kecil hinggap di salah satu bunga berwarna merah darah. Perlahan Kimo Quee mendekat. Dia mengusap-usap punggungnya sayang. "Bagaimana dengan kekkai, apa ada perkembangan?"

Terakhir kali Uimo memeriksa, sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan, lubang menganga lebih lebar dari sebelumnya. Tanah dan pepohonan di wilayah Gemerincing Koa mulai terkikis menjadi serpihan. Jika dibiarkan, lubang semakin merambat sampai rumah penduduk. "Lapisan terluar sedikit lebih stabil, tak lagi samar-samar meski belum begitu sempurna."

Usapan Kimo Quee terhenti, lantas melirik Uimo sebentar sebelum kembali membelai kupu-kupu. "Apa rencananya berubah? Kukira Raloi langsung menutupi semua lapisan."

"Awalnya, ya. Namun, Peri Pengawas Raloi ingin mengurangi dampak akibat paparan dimensi lain dengan menutup lapisan paling luar lebih dulu. Dia lebih mendahului keselamatan penduduk Peperi. Meski kemungkinan bisa-tidaknya mendekati mustahil."

Kimo Quee menegakkan tubuhnya, lantas terbang mendekati Uimo. Punggung membungkuk itu terlihat menarik jika dilihat dari tempat ia berdiri. Entah apa yang terjadi jika dirinya menyentuh tepat di bagian tengah untuk sedikit saja memberi peringatan pada tulang punggung di dalamnya.

"Hngkh–kh!"

Punggung Uimo tertahan oleh telunjuk Kimo Quee, disusul suara seperti tulang retak. Kimo Quee menekan punggungnya semakin dalam, membuat retakan menyebar dalam sekejap. Mata dinginnya menatap peri kepercayaannya merintih tanpa iba.

Kimo Quee menunduk, mendekatkan mulutnya pada telinga. Anak-anak rambut berjatuhan menyamarkan pancaran warna merah di mata pemimpin para peri.

"Aku tidak tahu apa yang sedang kau perbuat. Kusarankan berhenti sekarang, atau tanganku yang berbicara. "Dan awasi terus anak manusia itu, terutama peri-peri muda di sisinya." Retakan pada punggung Uimo kembali menyatu kala Kimo Quee mengangkat jemari telunjuk. Dia bangkit, lantas beralih pada kupu-kupu bersayap ungu kebiruan.

Kelopak bunga tiba-tiba berubah warna menjadi lebih redup. Kupu-kupu terlambat menyadari. Akibatnya, tubuhnya tercabik oleh duri-duri yang muncul dari kelopak bunga merah.

Kimo Quee menyeringai. "Aha. Nanda pun sendirian. Kita lihat, apakah nasibnya akan lebih baik dari si kupu-kupu?"

*

Nanda berjalan meninggalkan ruangan Kimo Quee menuju tempat Fei dan Kroiee berada, Taman Laluna. Selama menyusuri selasar istana, terngiang perkataan ratu peri bahwa Nanda hanya butuh percaya pada kekuatan sendiri untuk bisa kembali ke dunia manusia, tanpa perlu bergantung pada orang lain.

Sebenarnya, Nanda tidak ingin berpikiran buruk pada orang-orang terdekatnya. Namun, memang sejak awal, ia belum bisa menaruh percaya seutuhnya pada mereka. Jika memang yang dimaksud ratu peri demikian, Nanda pun akan mengambil sikap.

Ucapan Kimo Quee kian menunjukkan kebenaran tatkala ia melihat tatapan kedua teman-perinya tampak berbeda. Termasuk satu peri yang berdiri di sebelah Fei. Peri dengan ikat kepala terlihat tidak asing di mata Nanda. Ia seperti pernah bertemu sebelumnya.

"Hai, kita berjumpa lagi. Oh, ini bukannya saatnya menyapa hangat dengan senyuman. Tidak setelah aku tahu kau penyebab adikku dalam bahaya."

Fei berdecak. "Kau berlebihan. Aku sudah bukan anak kecil lagi," sungutnya.

Mengabaikan perkataan Fei, peri berambut gondrong tadi melanjutkan ucapannya. "Omong-omong, aku Faiy, kakak Fei. Sebenarnya, aku sangat keberatan jika kalian melanjutkan perjalanan bersama, meski Fei bersikeras tetap ingin menemanimu."

Faiy terbang ke sisi Nanda. Dia menatap penampilan Nanda dengan pakaian saat terakhir kali ia memijakkan kaki di dunia manusia. "Kau terlihat ... bugar setelah bertarung dengan makhluk hebat Negeri Peperi. Ayo!"

Faiy berjalan di depan, memimpin perjalanan, diikuti Fei, Kroiee, baru Nanda di barisan paling belakang. Selama menyusuri hutan, Kroiee tak henti menoleh belakang, lalu ke depan lagi. Sementara Nanda begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai sempat tersandung akar pohon yang mencuat ke permukaan.

"Jadi, apa kau masih ingin tinggal?" Faiy membuka pembicaraan.

"Apa perlu aku memberitahumu?"

Faiy tidak menyangka jawaban yang keluar dari mulut Nanda. Tangannya mengepal, tak sabar ingin melayangkan tinju ke pipi mulus anak itu.

"Mau aku tinggal atau tidak, itu bukan urusanmu. Kau urus saja dirimu sendiri." Nanda bersedekap, dan terus melangkah melewati ketiga peri.

"Tsk! Maaf, tapi kesabaranku sudah habis, Kak," Fei terbang dengan cepat, lantas menerjang tubuh Nanda hingga tersungkur. Tangan kanannya menahan tengkuk, sedangkan tangan kiri menekuk tangan Nanda ke balik punggung. "Apa tujuanmu sebenarnya, hah!"

"Aku–hei! Apa-apaan ini, Fei!" Nanda sempat tak percaya atas perlakuan Fei terhadapnya. Pada dirinya yang tidak bersenjata, pun tak memiliki kekuatan apa-apa.

"Jangan berlagak bodoh. Kau ke sini untuk menghancurkan dunia kami, kan. Pakai berdalih dengan alasan lain. Dan dengan bodohnya aku percaya." Fei menertawakan diri sendiri. "Kau pikir, dengan pura-pura bodoh seperti ini, kau bisa menjalankan rencana busukmu, hah! Langkahi dulu mayatku!"

Fei membalik tubuh Nanda, membiarkannya berdiri sebelum mengeluarkan cahaya kekuningan dari kedua telapak tangan, lalu melemparnya padanya hingga terpental jauh. "Kau mau menghancurkan negeri kami, heh, jangan mimpi!"

Dikepakkan sayap yang membawanya terbang tinggi. Kedua tangannya terangkat ke atas dan menyatu. Ia kumpulkan kekuatan alam di tengah-tengah, baru Fei melesat seraya mengarahkan kekuatan itu pada Nanda.

Meski kesulitan karena satu kakinya terkena serangan sebelumnya, Nanda tetap berusaha bangkit untuk melarikan diri secepat mungkin. Namun, hal itu tak dapat menghindari dirinya dari serangan Fei. Kali ini, ia sampai terlempar berguling-guling, dan kepalanya terantuk batu besar.

Darah merembes dari pelipisnya. Meski dicoba menahan rasa sakit, tetap saja Nanda tak sanggup, bahkan untuk bergerak sekalipun.

Fei bukan lagi seperti yang ia kenal sebelumnya. Entah ia mendapat pemikiran itu dari mana sampai membuatnya berlaku sebegitu tak adilnya terhadap Nanda. Ternyata memang salah percaya pada siapa pun. Benar perkataan Kimo Quee, ia harus bergerak sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Karena ia sendiri berada di negeri asing yang ia belum kenali seperti apa orang-orangnya.

"Bagaimana, apa masih sanggup melawanku?" Fei berdiri sambil berkacak pinggang tepat di depan Nanda.

Ditatapnya Fei dengan wajah berdarah-darah. Ia masih tak percaya luka-luka ini hasil perbuatan peri yang selalu menemani sebelumnya.

"Fei, hah, untung saja aku belum sepenuhnya percaya. Ternyata bukan mau membantu, justeru kamulah yang menginginkanku mati. Dengan tanganmu sendiri." Dengan sisa napas terakhirnya, Nanda berkata, "Memang lebih baik sendiri, daripada ditemani seseorang bermuka dua sepertimu."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang