.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 𝔛ℑ𝔙

4 1 0
                                    

Saat membuka mata, Nanda sudah berada di tempat serba putih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat membuka mata, Nanda sudah berada di tempat serba putih. Di depannya berdiri seorang peri berambut pendek seperti Clopatra, tengah memegang sebuah tombak. Netra keabuan memandangi begitu dingin. Sementara tangannya memegang tombak kuat-kuat.

Tatapannya beralih, seketika tebing tempat Nanda memijak hancur, berjatuhan ke jurang tak berujung. Nanda ikut terjatuh, tetapi sempat meraih ujung tebing rapuh yang akan hancur tidak lama lagi.

"Tolong aku!" teriak Nanda sambil berusaha tetap berpegangan.

Mata dingin itu kian menusuk seolah tak sabar ingin berbuat sesuatu untuk menghilangkan pemandangan yang mengganggu. Dalam sekejap, tombak terangkat, lantas menusuk punggung tangan kanan Nanda.

"Aaaargh! Aarghh!"

Semakin kencang teriakan, semakin dalam pula tombak itu menusuk. Bukan langsung menusuk begitu saja, melainkan dengan memutar-mutar ujung tombak dengan ulir bergelombang. Nanda jadi bergantung pada tombak atau ia akan terjatuh jika terlepas.

"AARRGHHH ...!"

"Langsung saja. Mati di sini, atau di duniamu?"

Mata Nanda membulat. Ia belum mau mati, di sini maupun di dunia manusia. Masih banyak hal yang ingin dilakukan. Bahkan, keinginannya saja belum terwujud.

"Aku tidak mau mati." Nanda berkeringat dingin. Mendadak ia takut akan kematian.

"Sayangnya, hanya itu pilihan untukmu." Diangkatnya tombak, lantas ditusuk kembali. Kali ini, lebih dalam. Teriakan Nanda bergema, tak tertahankan.

Cairan merah menetes ke dahi, juga mata, dan mengalir menyusuri pipi. Tak terbayangkan Nanda harus melewati semua ini untuk permintaan sesederhana itu. Beberapa waktu lalu, makhluk hitam dengan asap hitam menyesakkan dada. Ia juga tidak lupa ruh-ruh yang meminta tolong padanya saat membuat penunggu benda kuno murka. Belum lagi kini teman-teman perinya tengah meregang nyawa. Dan sekarang giliran dirinya. Dia baru berusia 13 tahun.

Terlintas bayangan Fei dan Kroiee yang selalu mengalami hal tak menyenangkan secara tidak langsung akibat perbuatannya. Tidak, Nanda memang belum boleh mati. Setidaknya sampai ia bertanggung jawab menyelesaikan masalah hasil perbuatannya.

Nanda menyeringai. Tiba-tiba kekuatannya bangkit. Ia tarik paksa tangan kanannya sampai terlepas dari tombak. Rasa sakitnya sungguh tak tertahankan. Setelah jeda sebentar, Nanda bersiap naik sampai ke tepi tebing. Gagah ia berdiri, lalu menatap mata peri itu dengan berani.

"Kalau mau membunuhku, tunggu sampai aku berhasil selamatkan teman-temanku."

Peri bernama Uimo tersenyum. Nanda, anak manusia itu lulus. Ia siap mengantarkan pada sang pemimpin peri.

Sebelum itu, Uimo harus mengalahkan Bering Kaluna. Ia tidak bisa berlama-lama.

Setelah mengembalikan waktu, Uimo segera menyerang ruh-ruh yang mengurung Fei dan Kroiee tepat di bagian jantung dengan mantra khusus ruh. Seketika mereka menghilang. Nanda jatuh seketika.

Uimo segera beralih melawan Bering Kaluna. Wanita berusia senja ini bisa sedikit merepotkan andaikan dia menggunakan kekuatan magis biasa. Lantas dikumpulkan seluruh kekuatan alam seraya mengucapkan mantra untuk membuat segitiga sederhana yang membesar, untuk dilemparkan ke arah Bering Kaluna.

Dalam sekejap, kekuatannya melemah. Di pun tertahan dalam segitiga itu seraya meneriakkan kekalahannya.

*

"Masuklah, Uimo."

Terdengar suara lembut dari dalam setelah pintu diketuk. Peri pengantar bernama Uimo mendorong gagang pintu sepanjang lengan dengan ukiran dedaunan. Cahaya terang segera menyambut Nanda, Fei, dan Kroiee begitu pintu terbuka. Di ujung ruangan, tepatnya dekat jendela berukuran besar, ketiganya mendapati seseorang berdiri di sana. Barulah sosok itu terlihat jelas saat berbalik menatap dengan sorot mata lembut.

Uimo segera membungkuk seraya menekuk lengannya depan dada. "Kesejahteraan semoga selalu melingkupi Peperi. Yang Mulia Kimo Quee, saya datang membawa mereka."

Peri bersayap kupu-kupu berwarna ungu cerah menatap satu demi satu wajah peri-peri yang hanya ia kenal dari tangan kanannya. Bola mata keunguan mengamati dalam diam, lantas terhenti pada satu peri berbeda. Tidak, tentu bukan itu sebutan yang tepat disematkan padanya.

Kimo Quee mengangguk pada Uimo. Segera peri kepercayaan Yang Mulia Ratu mengajak Fei, juga Kroiee keluar ruangan. Ucapan Kimo Quee mengantar kepergian mereka.

"Ada yang ingin bertemu denganmu, peri cantik."

Nanda tinggal berdua dengan seseorang yang dipanggil Yang Mulia. Bisa dikatakan, peri inilah pemimpin para peri. Dia mungkin bisa membantu Nanda agar bisa tinggal selamanya di sini.

"Apa kamu pemimpin para peri?"

Peri dengan gaun bergradasi ungu tersenyum. "Bisa dikatakan begitu."

Mendengarnya, mata Nanda berbinar-binar. "Kalau begitu, kamu bisa membantuku agar bisa tinggal."

Meski sudah tahu sejak awal, Kimo Quee tetap saja terkejut mendengar langsung dari seorang Nanda. "Apa hanya itu yang kau pikirkan? Apa itu yang benar-benar kau inginkan?"

"Ya. Hanya itu." Nanda menjawab mantap.

Tidak ada kebohongan dari matanya. Namun, terlihat masih ada setitik keraguan membayangi.

"Aku tidak yakin kau memahami arti dari keinginanmu." Kimo Quee beralih menatap awan mendung menutupi birunya langit. "Ingat, setiap keputusan yang dibuat akan mengubah takdir seseorang, sekecil apa pun itu."

"Aku yakin dengan keputusanku. Sejak Ayah meninggal, Ibu nggak lagi sayang padaku, cuma sama Daru. Ibu, Ibu telah berubah." Nanda menekan dadanya yang mendadak terasa sesak setiap kali memikirkan hal itu.

Nanda seperti kehilangan arah. Tersesat tanpa tahu ke mana jalan pulang. Hanya karena memaksakan satu keinginan yang ia tahu mustahil mewujudkannya.

"Kau tidak ingat Obaforo, makhluk yang menyerangmu beberapa waktu lalu? Kau tahu siapa dia? Dia itu kau, cerminan dirimu. Hatimu. Apa yang kau simpan di sana, seperti itulah dia akan terwujud."

Terbayang di benaknya saat tawa Obaforo terdengar begitu jelas. Tawa mencemooh seolah Nanda makhluk paling lemah seantero bumi. Dalam perasaan kalut, Nanda pun membenarkan, membuat Obaforo semakin puas menginjak-injak. Ia tidak mau terjadi hal serupa di mana musuh-musuh dengan senang hati melawannya yang tanpa kekuatan atau menggunakan senjata apa-apa.

"Kau sudah terkurung. Terbelenggu, karena Obaforo sangat tahu kelemahanmu. Kalau tidak kaulawan, jelas bukan kau pemenangnya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang