.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 ℑ

10 4 0
                                    

Tubuh Nanda sedikit terhuyung begitu kakinya mendarat di teras rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh Nanda sedikit terhuyung begitu kakinya mendarat di teras rumah. Meski siang telah beranjak, tidak lantas cuaca menjadi lebih bersahabat. Lihat saja, keringat sebesar biji jagung membanjiri dahinya. Sedangkan kepalanya sakit bukan main, tetapi bukan karena teriknya hari ini.

Salahkan teman-teman satu kelompoknya yang lebih tertarik membicarakan alasan memudarnya rasa sayang seseorang di tengah belajar kelompok tadi. Bahkan, mulut mereka lebih sibuk daripada tangan yang sedang menggunting dan mengelem pulau demi pulau di wilayah Indonesia. Dalam hati Nanda berjanji, tak akan ada lain kali bagi yang selalu bermulut manis hanya agar Nanda mau datang.

"Sayangnya udah hilang? Tanyainlah, bener nggak udah nggak sayang lagi. Kalo bener, itu pertanda nggak, sih ...,"

Mendadak kepala Nanda serasa berputar-putar saat teringat kalimat penutup "diskusi" dari satu temannya, Erina. Meski gelap nyaris menyelimuti pandangannya, Nanda sempat melihat Ibu memeluk Daru setelah memeriksa barang-barang di tas bergambar dinosaurus. Ditekannya dada kuat-kuat, berharap bisa sedikit meredakan sesaknya. Ia pejamkan mata sejenak, menarik napas dan membuangnya, seolah sesak itu juga turut keluar. Saat mata terbuka, Nanda tahu ia telah kembali.

"Nanda? Sudah pulang, Nak?"

Nanda mengacak rambut Daru, lalu menyalami Ibu seraya menggumam salam. Daru tidak terima. Ia panjat kursi hendak membalas sang Kakak, dan terhenti mendengar peringatan Ibu.

"Daruu ...."

"Iya, iya, Bu, Daru turun."

Ibu hanya menggelengkan kepala melihat kedua anaknya saling menjulurkan lidah. Ia menatap satu per satu penyemangat hidupnya: Daru, si ceriwis yang cengeng; dan Nanda–Ananda, anak pertama kebanggaan Ibu dan mendiang Ayah. Pandangan Ibu terpaku pada Nanda sedikit lebih lama, lalu langsung menoleh ke arah lain begitu tepergok si sulung.

"Na–Nan, tolong kacamata renang, ya, di tempat biasa."

Tampak belakang Ibu mengantarkan Nanda ke lantai dua. Nanda sempat berhenti sebentar di anak tangga kedua, menunggu Ibu mengatakan sesuatu, sebelum kembali melangkah. Gemuruh di hati sengaja ia abaikan karena prioritasnya sekarang adalah mengambil kacamata renang Daru yang ternyata tidak dapat ditemukan di mana pun.

"Ini kacamatanya, Bu." Terdengar teriakan Daru dari bawah.

"O–oh, ya ampun, di meja makan, tho. Ibu cari-cari dari tadi."

"Ih, Ibu gimana, sih?" sungutnya sambil memonyongkan bibir. "Ngerjain Kak Nanda aja."

Nanda melongokkan kepala, mendapati Ibu meringis menatapnya. "Hitung-hitung olahraga, Cel. Lagian ada yang mau diambil juga kok."

Pipi Daru menggembung lucu. "Buuu, Kak Nanda tuh, manggil aku boncel."

"Memang badanmu kecil, kan, Cel? Boncel. Hahaha ...."

"Ssh. Sudah, yuk pakai sepatumu." Ibu menengahi. "Mau setengah empat, lho. Perjalanannya kan setengah jam–" Ibu mengecek isi tas sekali lagi, dan beranjak menyusul Daru yang siap berangkat.

Tiba-tiba Nanda teringat sesuatu. Cepat-cepat ia lompati tiap dua anak tangga. Saking terburu-buru, Nanda sampai lupa mengerem begitu mendekati pintu. Alhasil tubuh besarnya menindih Daru. Dahinya agak lebam karena terantuk lantai, dan sedikit berdarah. Seketika itu juga, tangis Daru pecah.

"Andaru, ya Allah, Sayang."

Panik, Ibu langsung membuka tas bawaan untuk les renang, dan mengambil tisu. Darah masih keluar sedikit meski sudah diseka. Sementara itu, tangan Ibu gemetar hebat saat ingin menyeka untuk ke sekian kali. Biarpun sudah dipegangi tangan kiri, gemetar itu tidak berhenti juga. Ibu jadi menyeka di tempat yang salah.

Nanda tak tahan lagi. Ia ambil alih tisu di tangan Ibu, tetapi segera ditepis. Tidak hanya itu, Ibu juga mendorong Nanda jauh-jauh dari Daru. Tatapannya seperti takut yang amat sangat. Nanda hampir-hampir tidak memercayai sikap Ibu yang seperti ini padanya.

"B ... Bu–"

"Kamu nggak apa, Nak? Ya Allah, dahimu." Ibu menyentuh pelan dahi Daru. "Kita di rumah aja, ya, Nak. Libur dulu berenangnya."

"Huhu ... Nggak mau. Daru maunya berenang, Bu. Huhu ...."

Ibu mengembuskan napas, mencoba menenangkan diri menghadapi kekeraskepalaan anak bungsunya. "Ya udah. Tapi kalau nanti Daru pusing, kita pulang, ya."

"Iya, Daru janji."

"Kami berangkat. Assalamu'alaikum." pamit Ibu tanpa menoleh ke Nanda.

Setelah Ibu pergi, Nanda mengempaskan diri di sofa. Matanya menatap langit-langit, mengingat kembali sikap Ibu tadi yang dirasa berlebihan. Nanda masih bertanya-tanya kenapa respons Ibu seperti itu, padahal tadi ia tak sengaja menubruk Daru.

"... kalo kita butuh introspeksi."

Dipikir bagaimana pun, tetap saja Nanda tidakmenemukan jawabannya. Diremasnya rambut kuat-kuat, lalu ia hamburkanbantal-bantal di sofa ke arah televisi seraya berteriak pilu.

 Diremasnya rambut kuat-kuat, lalu ia hamburkanbantal-bantal di sofa ke arah televisi seraya berteriak pilu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang