.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 𝔛ℑℑℑ

6 1 0
                                    

"Lihat dirimu," Fei menunjuk manusia tak berdaya di hadapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lihat dirimu," Fei menunjuk manusia tak berdaya di hadapan. Bahu terkulai dengan mata menatap tanpa gairah. "seperti enggan melanjutkan hidup."

Nanda menghela napas berat. Ia merebahkan diri menatap langit kebiruan. "Yap. Sekarang aku menginginkan kematian. Untuk apa hidup kalau takada yang membutuhkan aku."

"Tsk! Selalu memikirkan diri sendiri. Ya, itulah kau. Mati saja sana!" Fei mengempaskan diri di sebelah Nanda–ikut merebah. "Entah apa yang terjadi kalau kau mati di negeri orang. Mungkin ragamu di sana juga ikut mati. Atau lebih parah, semua ingatan tentangmu juga bernasib sama. Siapa yang tahu."

Nanda menoleh, menatapnya tak percaya. "Bukan hanya judes, tapi juga kejam. Komplit, lengkap. Pantas kamu nggak terlihat punya teman. Orang kerjanya mencari musuh."

"Hei!" Fei bangkit, lantas memukul kepala Nanda dengan segenap kekuatan. "Becerminlah! Apa pantas kata-kata itu keluar dari mulutmu?"

"Hiissh." Kepalanya begitu nyeri. Ternyata pukulan Fei tidak hanya membuat sakit, tetapi juga berhasil memperbaiki otaknya yang sedikit "geser". Nanda sadar ucapannya telah melewati batas. Tidak sepatutnya ia bersikap demikian pada Fei si peri penyelamat. "Baik, maafkan ucapanku yang kelewatan."

"Permintaan maaf diterima. Tapi, aku tidak main-main dengan ucapanku barusan."

"Yang mana?" Nanda pura-pura lupa karena tidak siap mendengarnya sekali lagi.

Fei menatap serius tepat pada manik mata Nanda. "Itu kemungkinan terburuk. Namun, tidak ada yang tahu, karena apa? Tidak pernah ada manusia menginjakkan kaki di Negeri Peperi. Aku sendiri tak bisa membayangkan bagaimana jadinya andaikan benar ada. Sampai aku mengalaminya sendiri."

Tiba-tiba telinga-peri-buatan Nanda memudar. Begitu pula dengan pakaian, berganti menjadi pakaian memanah. Sontak Fei menutup kedua telinga Nanda erat, dan kian erat begitu terdengar suara tamu tak diundang.

Memahami situasi, Nanda berdiri menghadap tamu dengan Fei menutupi tubuhnya. Sementara tangannya gemetar memegangi lengan Fei.

Kroiee sedikit terkejut melihat posisi Nanda dan Fei, lantas mencoba menguasai diri karena ada hal lain yang lebih penting. "Jawaban dari pertanyaanmu. Ada, Fei."

Susah payah, Fei memutar kepala agar bisa melihat Kroiee. "Ap–apa maksudmu?"

"Maaf, aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian." Kroiee membuka tutupan telinga Nanda. "Aku pernah mendengar cerita tentang bangsamu dari Nenek. Tak kusangka bisa berhadapan langsung. Kau sungguh seorang manusia?"

"Apa-apaan matamu itu? Dia ini manusia payah, asal kau tahu."

Nanda hanya diam. Tidak membenarkan, juga tidak menyalahkan. "Aku hanya ingin tinggal di sini, kenapa sulit sekali."

Darah Fei mendidih. Kedua tangannya mengepal, tidak sabar melayangkan tinjunya tepat di kepala Nanda. Sepertinya mustahil berharap ia mau mengubah keputusan gegabahnya itu.

𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang