.☘︎ ݁˖ 𝔅𝔞𝔟 ℑℑℑ

9 4 0
                                    

Anak-anak mana yang tidak suka berimajinasi? Sebut saja mengkhayal diri sendiri adalah seorang putri dari negeri imaji yang begitu cantik jelita; bisa berubah menjadi super hero yang dapat mengeluarkan sinar laser dari mata maupun tangannya; menci...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anak-anak mana yang tidak suka berimajinasi? Sebut saja mengkhayal diri sendiri adalah seorang putri dari negeri imaji yang begitu cantik jelita; bisa berubah menjadi super hero yang dapat mengeluarkan sinar laser dari mata maupun tangannya; menciptakan sosok di negeri khayalan yang bisa diajak bicara, mendalami peran sebagai ayah-ibu, atau profesi tertentu berikut tugas-tugasnya; menggambar benda-benda yang memiliki anggota tubuh dan bisa berbicara. Meski tidak nyata, anak-anak begitu antusias melakukannya. Sebaliknya, justeru mereka asing pada hal-hal yang terlihat nyata dan cenderung serius.

Saat usia lima tahun, Nanda juga melewati fase tersebut. Ia sangat suka menggambar, terutama hewan-hewan dengan bentuk yang tidak biasa, lalu mengayunkan pensil di tangannya agar gambar-gambar itu hidup. Setelah itu, Ayah akan datang membawa banyak boneka juga mainan, dan memainkannya melalui kisah karangan yang dibuat saat itu juga. Lantas Nanda ikut bermain peran sebagai robot penyelamat yang dapat diandalkan.

Andaikan saat itu hewan-hewan yang ia buat: kucing berekor lima, burung berkaki tiga, tikus berbulu putih yang bersayap, hidup dalam arti yang sesungguhnya, tentu Nanda otomatis tersenyum semringah dengan mata berbinar. Hewan-hewan itu akan dibawa ke mana pun ia pergi untuk dipamerkan pada teman-teman sekitar rumah. Namun, tetap saja, Nanda tahu hal itu tidak akan pernah menjadi sungguhan.

Karena itulah, saat kemarin ia melihat makhluk mungil yang boleh jadi itu adalah sosok peri, Nanda hanya bisa terpaku. Matanya sibuk memindai keseluruhan tubuh si peri yang memakai baju dan celana pendek berbahan kain berwarna coklat tua, juga sepatu dengan bahan serupa. Kerlap-kerlip cahaya keluar setiap sayap peri itu mengepak-ngepak, membuat Nanda terpesona. Suara pendar yang ia dengar berasal dari sana rupanya. Peri berkuncir satu itu terlalu nyata untuk dikatakan sebagai makhluk khayalan.

Setelah coba menggali informasi, Nanda sampai pada satu kesimpulan bahwa peri adalah makhluk yang hanya ada dalam kepercayaan zaman dulu yang dipercaya dapat membawa kemalangan maupun kebaikan bagi manusia. Beberapa orang percaya, peri dapat membuat manusia sakit, sedangkan beberapa yang lain menganggap ada pula peri baik yang membantu manusia, contohnya peri rumah. Dari semua penjelasan, sampai pada satu pemikiran yang disepakati banyak orang terdahulu tentang makhluk istimewa itu, yakni peri merupakan orang kecil.

Seharusnya peri berada di pegunungan, di dalam air, di bawah tanah, di udara atau tempat lain yang identik dengan alam, meski dahulu ada pula yang mengatakan ada peri yang tinggal bersama manusia. Namun, munculnya peri di zaman yang sudah serba modern ini sungguh tidak masuk akal bagi Nanda.

Nanda menghela napas. Apa ia harus mengakui juga pada akhirnya, kalau apa yang dilihatnya benar-benar nyata? "Cel, menurutmu, apa peri itu nyata?"

Daru yang tengah membaca buku dengan posisi setengah merebah langsung menutup bukunya. "Percaya. Vania cerita dan pernah menunjukkannya padaku dan Arya. Dia begitu cantik dan lembut. Vania juga membiarkan kami bicara dengan temannya itu."

Alis Nanda terangkat. "Kamu yakin itu peri sungguhan?"

Daru memegang dagu–tampak berpikir. "Mm, nggak juga. Vania menunjukkan sebuah boneka pada kami. Kata Vania, boneka itu seperti peri yang selalu mengikutinya. Peri itu ada tepat di sampingnya. Terbang dengan sayap kupu-kupu. Vania sering minta bantuan sama dia."

Nanda mendengkus. Ia tahu akan bermuara ke mana pembicaraan ini. "Terus kamu lihat nggak peri itu di dekat Vania?"

"Nggak." Daru menjawab mantap dan fokus lagi ke bukunya, seolah itu bukan masalah besar. "Kenapa, kok, tiba-tiba nanya soal peri?"

"Ada yang kepoo."

"Ish. Apa, sih. Males, ah!" Dengan wajah sebal, Daru memutar tubuhnya membelakangi Nanda.

Tiba-tiba pintu berderit pelan. Kepala Ibu muncul dari sana, dan tersentak kaget melihat ada Nanda di sana.

"Eh–oh, Nanda, kamu di sini. Daru, yuk, kan mau beli baju renang buat ganti yang sobek kemarin. Yuk, keburu malam!" Ibu beralih menatap Nanda. "Nanda, ikut juga nggak?"

Nanda menatap kedalaman mata Ibu, yang seolah meminta Nanda untuk tidak ikut. Tidak hanya itu, tangannya yang masih memegang kenop pun bergetar hebat. Seperti ingin segera keluar dari kamar dengan pernak-pernik serba dino ini.

"Nggak, Bu, Nanda di rumah aja."

Meski tampak sembunyi-sembunyi, tetapi Nanda tahu Ibu diam-diam merasa lega. Terbukti, tangannya tak lagi gemetaran.

"Kalau gitu, kami pergi dulu. Hati-hati, ya, di rumah." Ibu segera menarik tangan Daru, lantas berlalu meninggalkannya sendiri.

Sesak. Kosong. Banyak udara di sekitarnya, tetapi kenapa Nanda seperti tidak bisa bernapas dengan benar? Apa Nanda memang tak dibutuhkan lagi di sini? Kebetulan, dia pun sudah muak dan tak tahan dengan perasaan tidak nyaman ini tiap kali melihat tatapan maupun sikap Ibu terhadapnya. Andaikan dia bisa pergi ke suatu tempat tanpa adanya Ibu, tanpa Daru.

Tiba-tiba matanya membulat. Sepertinya dia tahuharus ke mana.

 Sepertinya dia tahuharus ke mana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐁𝐞𝐥𝐞𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐀𝐧𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐞𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐩𝐞𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang