Panji Widjaja, seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Seni, duduk di sebuah taman kampus. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa harum dedaunan yang gugur. Di depannya, sebuah kanvas terbentang, dan kuas di tangannya dengan tenang melukis pemandangan pantai yang selalu menjadi inspirasinya. Setiap sapuan kuas adalah pelarian dari realitas pahit yang pernah ia alami.
"Pantai selalu membawa ketenangan," gumamnya pelan. Ombak yang tenang dan langit biru seolah menjadi obat bagi hatinya yang terluka. Tapi meskipun tangannya bergerak dengan cekatan, pikirannya berkelana jauh ke masa lalu-masa ketika dunia terasa begitu keras dan penuh cemoohan.
SMP. Masa di mana setiap harinya adalah perjuangan untuk bertahan. Penampilannya yang gemuk, kulit gelap, dan wajah berjerawat yang sering dijadikan bahan olok-olokan menjadikan hari-harinya penuh dengan penghinaan. Panji ingat setiap kata kasar yang terlontar dari mulut teman-temannya.
"Eh, lihat! Si Babi bunting datang tuh," ejek salah satu siswa dengan tertawa terbahak-bahak.
"Dasar, si Gorila bau! Menjauhlah dari kami!" teriak siswa lain sambil menutup hidung, seolah kehadiran Panji membawa aroma busuk.
Sakitnya penghinaan itu selalu menghantam hati Panji seperti belati. Tubuhnya bergetar saat mengingat tatapan-tatapan penuh ejekan, suara tawa jahat yang mengisi lorong-lorong sekolah. Suatu hari, setelah jam pelajaran usai, ia dihampiri oleh gerombolan perundung yang sudah akrab dengannya-akrab dalam arti ia selalu menjadi korban mereka.
"Hei, Babi! Ikut kami sekarang!" teriak salah satu perundung, dengan senyum licik menghiasi wajahnya.
Panji menatap mereka dengan penuh ketakutan. "Apa yang mau kalian lakukan padaku?" suaranya gemetar, matanya menatap mereka dengan harapan kosong bahwa mungkin, kali ini, mereka akan melepaskannya.
"Diam! Nggak usah banyak tanya! Ayo, cepat!" Salah satu dari mereka menarik kerah bajunya, menyeretnya dengan kasar ke arah toilet sekolah yang sepi.
Di dalam toilet, Panji hanya bisa menggigit bibir, menahan tangis yang sudah hampir pecah. Mereka mulai melemparkan telur busuk dan tomat ke arahnya. Bau busuk dan perasaan malu membanjiri dirinya. Mereka tak puas dengan itu-sekarung tepung dituang ke atas kepalanya, membuatnya terlihat seperti badut yang dipermalukan di tengah panggung besar.
"Tolong... Aku tidak pernah menyakiti kalian. Ampuni aku," Panji akhirnya merintih, suaranya serak oleh ketakutan dan kesedihan. Namun, jawabannya hanya tawa yang lebih keras, lebih menyakitkan.
"Ini baru permulaan," kata salah satu perundung, lalu mereka menyiram tubuhnya dengan air kotor. Panji mencoba meronta, mencoba melawan, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah oleh rasa malu dan takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)
Teen FictionTerinspirasi dari cerita "Beauty Newbie" dan "We Are", "Panji's Love -In the Name of Love-" adalah kisah perjalanan emosional Panji Widjaja, seorang mahasiswa seni yang pernah mengalami perundungan dan memutuskan untuk memperbaiki penampilannya mela...