Suatu pagi yang cerah, Panji dan teman-temannya bersiap-siap untuk perjalanan menuju perkemahan sukarela di sebuah pedesaan. Perjalanan itu sudah lama direncanakan oleh kampus mereka, sebagai kegiatan sosial untuk membantu anak-anak di desa dalam belajar dan aktivitas lainnya. Bagi Panji, perjalanan ini seharusnya menjadi kesempatan untuk bersantai dan melupakan berbagai hal yang mengganggu pikirannya. Namun, perasaan canggung masih menghantui sejak pertemuan terakhirnya dengan Pandu di wahana permainan. Meskipun sudah beberapa hari berlalu, canggung itu tak kunjung hilang.
Teman-teman yang ikut serta dalam perjalanan kali ini termasuk Putra, Adit, Tama, dan Rizky—kelompok inti mereka. Namun, selain mereka, Fanny juga akan ikut. Fanny, seorang mahasiswi seni yang selalu berhasil menarik perhatian orang di sekitarnya, kerap kali membuat Panji merasa kurang nyaman. Fanny terkenal karena kepribadiannya yang mudah mendekati siapa saja, terutama para pria, dan hari ini, tampaknya ia punya target baru—Pandu.
Saat semua orang berkumpul di depan bus, Panji mendapati Fanny sedang bercakap-cakap dengan Pandu, dengan cara yang sangat mencolok. Dari kejauhan, Panji bisa melihat Fanny tertawa kecil sambil sesekali menyentuh lengan Pandu, seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di dunia ini. Di tengah canda dan tawa itu, Fanny tiba-tiba berkata dengan manja, “Pandu, kamu duduk di sebelah aku ya. Aku nggak mau sendirian di bus.” Suaranya terdengar memohon dengan nada yang lembut, seperti biasa ketika ia ingin mendapatkan sesuatu.
Pandu, yang tampaknya tidak menyadari apa pun, hanya mengangguk setuju. “Oke, nggak masalah. Aku juga butuh teman ngobrol selama perjalanan.”
Mendengar itu, Panji merasakan perasaan tidak nyaman menyelinap di hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi melihat Fanny begitu dekat dengan Pandu membuat perasaannya kacau. Ia berusaha menenangkan diri dan mengingatkan bahwa ini semua hanyalah perjalanan sukarela. Namun, perasaan cemburu mulai muncul, dan Panji tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Di dalam bus, Panji duduk agak jauh dari Pandu dan Fanny. Ia mencoba menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik melalui earphone, tetapi sulit baginya untuk benar-benar merasa tenang. Sesekali ia menoleh ke arah tempat duduk Pandu, melihat bagaimana Fanny terus berbicara dengan antusias sambil sesekali tertawa. Pandu hanya tersenyum dan menjawab sesekali, tidak menunjukkan tanda-tanda merasa terganggu. Namun, bagi Panji, setiap interaksi mereka seperti menusuk hatinya lebih dalam.
Setibanya di desa, rombongan mereka segera memulai kegiatan utama: mengajar anak-anak desa setempat. Suasana pedesaan yang tenang dan damai seharusnya bisa membantu Panji melupakan kekacauan emosionalnya, namun Fanny yang selalu berada di dekat Pandu menjadi gangguan yang tak terhindarkan. Mereka mengajarkan anak-anak cara membaca, menulis, berhitung, dan bernyanyi. Pandu tampak menikmati perannya, tersenyum lebar setiap kali anak-anak tertawa atau mengajukan pertanyaan. Ia tampak alami dalam berinteraksi dengan anak-anak, sesuatu yang membuat Panji semakin kagum, tetapi juga semakin frustrasi.
Di sela-sela aktivitas mengajar, Panji terus terganggu oleh cara Fanny yang tampak tidak pernah melepaskan Pandu dari sisinya. Fanny selalu mencari perhatian dengan cara yang lembut tetapi jelas, membuat Panji semakin sulit untuk tidak merasa cemburu. Pandu, seperti biasa, tampak santai dan tidak menyadari dinamika yang sedang terjadi di antara mereka bertiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)
Teen FictionTerinspirasi dari cerita "Beauty Newbie" dan "We Are", "Panji's Love -In the Name of Love-" adalah kisah perjalanan emosional Panji Widjaja, seorang mahasiswa seni yang pernah mengalami perundungan dan memutuskan untuk memperbaiki penampilannya mela...