Sore itu, Panji duduk di tempat laundry dekat kampus, menunggu pakaiannya selesai dicuci. Suasana di sekitar cukup tenang, hanya terdengar deru mesin cuci yang berputar tanpa henti. Gilang, yang duduk di sampingnya, sesekali berbicara tentang hal-hal sepele, tetapi ada rasa canggung yang tidak bisa diabaikan. Sejak pertemuan mereka beberapa hari lalu, perasaan Gilang terhadap Panji telah terungkap, dan hubungan mereka mulai terasa berbeda.
Panji, meskipun nyaman dengan keberadaan Gilang, tak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menggelayut di hatinya. Ia tahu Gilang menginginkannya lebih dari sekadar teman, tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Pandu selalu ada di benaknya, membuat keputusan ini semakin sulit.
"Sebenarnya, gimana jawaban kamu soal permintaanku?" tanya Gilang tiba-tiba, memecah kesunyian.
Panji menoleh, terdiam sejenak. "Aku masih mikir, Mas. Aku... aku nggak tahu harus gimana," jawabnya pelan, mencoba tidak menatap mata Gilang terlalu lama. Ada perasaan ragu yang menahan dirinya untuk memberi jawaban tegas, karena dia tahu keputusannya akan berdampak besar pada hubungan mereka bertiga—Gilang, Pandu, dan dirinya.
Sebelum Gilang bisa mengatakan lebih lanjut, pintu tempat laundry terbuka, dan Pandu masuk dengan senyum cerah di wajahnya. "Hey, kalian ngapain di sini?" sapa Pandu riang, matanya segera tertuju pada Panji, yang terlihat gelisah.
Panji melirik ke arah Pandu sejenak, merasa canggung. "Aku udah selesai. Mau balik duluan," katanya buru-buru. Ia segera berdiri, mengambil cucian yang sudah selesai dilipat, lalu berpamitan. "Sampai ketemu nanti, Mas Gilang, Pandu," katanya sambil tersenyum kecil, namun jelas terlihat bahwa ia ingin segera pergi.
"Kenapa buru-buru, Ji?" tanya Pandu dengan sedikit bingung, merasa kecewa karena Panji tak memberinya kesempatan untuk mengobrol.
"Ada urusan di rumah. Nanti aja kita ngobrol lagi," jawab Panji sambil melangkah keluar, meninggalkan Pandu dan Gilang berdua di tempat laundry. Pandu hanya bisa melihatnya pergi, sementara Gilang duduk diam di sampingnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Setelah kepergian Panji, suasana di antara Gilang dan Pandu menjadi agak tegang. Pandu, yang tidak pernah suka menyimpan perasaan, akhirnya membuka suara. "Jadi, gimana kencan kalian di museum kemarin?" tanyanya langsung, menatap Gilang dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Alih-alih menjawab pertanyaan Pandu, Gilang tersenyum samar dan menunduk ke arah cucian. "Kamu tahu, Pandu, kalau cuci pakaian itu harus dipisahin yang putih sama yang berwarna. Biar nggak luntur."
Pandu mengerutkan dahi, tidak mengerti apa yang sedang Gilang bicarakan. "Apa hubungannya dengan yang aku tanyain tadi?"
Gilang tertawa kecil, mengangkat bahu, seolah-olah tidak ingin menjawab secara langsung. "Kadang, dalam hidup juga ada hal-hal yang perlu dipisahkan, biar nggak campur aduk dan malah berantakan," jawabnya dengan nada misterius. Pandu hanya bisa menatapnya dengan tatapan bingung dan sedikit kesal. Ia merasa seperti ada sesuatu yang Gilang sembunyikan, sesuatu yang tidak ia pahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)
Novela JuvenilTerinspirasi dari cerita "Beauty Newbie" dan "We Are", "Panji's Love -In the Name of Love-" adalah kisah perjalanan emosional Panji Widjaja, seorang mahasiswa seni yang pernah mengalami perundungan dan memutuskan untuk memperbaiki penampilannya mela...