Langit sore mulai berubah warna ketika Pandu berdiri di depan kantor agen properti, memantapkan hatinya untuk mengambil keputusan yang sudah lama ia pikirkan. Ia ingin pindah dari rumah ibunya, ingin mencari tempat tinggal sendiri yang lebih dekat dengan kampus. Hubungan dengan ayahnya, Pak Daniel, memang mulai membaik, tapi Pandu merasa butuh ruang. Ia ingin mandiri, ingin menemukan kehidupannya sendiri tanpa selalu berada di bawah bayang-bayang keluarganya.
Setelah menarik napas dalam, Pandu masuk ke kantor agen properti yang dingin oleh udara pendingin. Seorang staf properti muda menyambutnya dengan senyum profesional.
"Selamat sore, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya dengan nada ramah.
"Sore, saya sedang mencari kamar kost yang dekat dengan kampus. Ada rekomendasi?" tanya Pandu langsung.
Staf properti tersebut segera memeriksa layar komputernya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk dengan cepat di atas keyboard. Pandu menunggu dengan penuh harap, berharap bisa segera menemukan tempat yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun, ekspresi staf itu berubah sedikit canggung setelah beberapa menit memeriksa.
"Maaf, Mas Pandu. Untuk saat ini, semua kamar kost yang dekat dengan kampus sudah penuh. Tapi kalau Mas mau, bisa tinggalkan nomor telepon, nanti kalau ada kamar yang kosong, kami akan langsung menghubungi," jawabnya dengan nada penuh penyesalan.
Pandu menahan rasa kecewa, tapi ia mengangguk sambil menyerahkan nomor teleponnya. "Baik, saya tunggu kabarnya, ya," ucap Pandu sopan. Setelah itu, ia berbalik menuju pintu, bersiap untuk meninggalkan kantor tersebut.
Namun, saat tangannya hampir meraih gagang pintu, pintu tersebut tiba-tiba terbuka dari luar. Seorang pria tinggi dengan penampilan rapi membawa tas belanjaan masuk. Pandu sekilas memperhatikan wajah pria itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa akrab dengan sosok tersebut, tapi ia tak bisa segera mengingat di mana pernah bertemu.
Pria itu menatap Pandu sejenak, lalu tersenyum lebar. "Hei, kamu Pandu, kan? Putranya Pak Daniel dan temannya Panji?"
Pandu mengerutkan kening, mencoba mengingat lebih jelas. Setelah beberapa detik, ingatannya kembali. "Oh iya, kamu Gilang, ya?" jawab Pandu dengan sedikit terkejut.
Gilang tertawa kecil dan mengulurkan tangannya dengan ramah. "Betul! Kita pernah ketemu waktu di kafe bareng Panji dan ayahmu."
"Oh iya, aku ingat sekarang. Kamu mentornya Panji?" Pandu menyambut uluran tangan Gilang, meski masih sedikit merasa canggung dengan interaksi yang tiba-tiba ini.
"Iya, betul. Panji sering bantu Aku di studio. Gimana, kabar ayahmu baik-baik aja?"
Pandu mengangguk singkat. "Iya, baik," jawabnya, berusaha menjaga percakapan tetap singkat. Pembicaraan tentang ayahnya masih terasa canggung baginya, apalagi dengan seseorang yang belum begitu ia kenal dekat.
Gilang tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Bagus, bagus. Eh, ngomong-ngomong, daripada berdiri di sini, gimana kalau kita ngobrol di kafe depan minimarket sini? Aku kebetulan ada waktu luang. Mungkin kita bisa ngobrol lebih santai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)
Genç KurguTerinspirasi dari cerita "Beauty Newbie" dan "We Are", "Panji's Love -In the Name of Love-" adalah kisah perjalanan emosional Panji Widjaja, seorang mahasiswa seni yang pernah mengalami perundungan dan memutuskan untuk memperbaiki penampilannya mela...