Panji duduk di kamar kost-nya, memandangi layar ponselnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Percakapan dengan Fanny di kafe beberapa hari yang lalu masih terngiang di kepalanya. Fanny, teman dekat Pandu sejak SMA, tiba-tiba mengungkapkan perasaannya kepada Pandu. Bagaimana mungkin? Dan lebih mengejutkannya lagi, Fanny meminta Panji untuk membantu mendekatinya—seseorang yang Panji cintai diam-diam selama ini.
Panji menutup matanya sejenak, mencoba mencari kedamaian dalam pikirannya yang kacau. "Aku harus bantu Fanny," gumamnya pelan. Namun, di dalam hatinya, ada rasa sakit yang tidak bisa ia abaikan. Ia ingin mendukung temannya, tetapi perasaannya terhadap Pandu membuatnya merasa semakin terjebak. Seandainya perasaan ini bisa hilang begitu saja, segalanya mungkin akan lebih mudah.
Esok harinya, Panji memberanikan diri untuk mengajak Pandu makan malam. Ada rencana besar di balik ajakan ini—ia ingin mempertemukan Fanny dengan Pandu, meski dalam hatinya ia tahu ini keputusan yang salah. Pandu, yang tidak menyadari apa yang direncanakan Panji, tampak sangat antusias dengan undangan tersebut.
“Wah, ajakan makan malam? Kamu ada maksud apa sih, Panji?” tanya Pandu dengan nada bercanda sambil tersenyum lebar.
Panji hanya bisa tersenyum gugup. "Nggak ada maksud apa-apa, Pandu. Aku cuma pengen makan bareng, ngobrol santai."
Namun, rasa tak nyaman mulai menyelimuti Panji. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini semua demi kebaikan Fanny, tetapi semakin mendekati restoran, semakin berat langkahnya.
Sesampainya di restoran, ketika Pandu melihat Fanny muncul, wajahnya langsung berubah. Dari yang semula ceria, kini tampak bingung dan sedikit gelisah. "Apa yang dia lakukan di sini?" gumam Pandu sambil berusaha tetap tenang. Panji yang tidak menyadari perubahan ekspresi Pandu, dengan sopan mempersilakan Fanny duduk di meja yang sudah mereka pesan.
“Aku ke kamar kecil sebentar ya,” kata Panji sambil berdiri, meninggalkan Fanny dan Pandu berdua di meja.
Ketika Panji pergi, suasana di antara Fanny dan Pandu tiba-tiba berubah tegang. Pandu menatap Fanny dengan tatapan tajam, menyadari bahwa kehadirannya di sana bukan kebetulan.
“Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Fanny?” tanya Pandu dengan suara rendah namun penuh penekanan. Pandu tidak pernah menyukai ketidakterusterangan, dan ia merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Fanny.
Fanny tersenyum penuh percaya diri, menatap Pandu dengan tatapan yang penuh arti. “Aku ingin jadi pacarmu, Pandu. Kamu dan aku—kita bisa jadi pasangan sempurna. Bayangkan, semua orang akan membicarakan kita. Kita bisa terkenal, kaya, dan hidup bahagia.”
Mata Pandu melebar, ia tak percaya apa yang baru saja ia dengar. “Kamu gila, Fanny,” balas Pandu tegas, suaranya dipenuhi amarah yang ia coba tahan. “Aku nggak tertarik dengan rencana absurd kamu itu. Aku dan Panji... kami sudah bahagia.”
Fanny menatap Pandu dengan tatapan sinis. “Bahagia? Kamu bodoh kalau berpikir Panji mencintaimu. Hubungan kalian nggak wajar. Kamu lebih cocok sama aku. Kita bisa membuat banyak orang iri.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Panji's Love -In the Name of Love- (PondPhuwin)
JugendliteraturTerinspirasi dari cerita "Beauty Newbie" dan "We Are", "Panji's Love -In the Name of Love-" adalah kisah perjalanan emosional Panji Widjaja, seorang mahasiswa seni yang pernah mengalami perundungan dan memutuskan untuk memperbaiki penampilannya mela...